Memanusiakan Petugas Sampah Melalui Program Zero Waste Cities

by - February 12, 2021

Setiap hari kita semua menghasilkan sampah, baik itu berupa sampah organik maupun sampah non organik. Setiap hari pula ada orang berjasa yang mengelola serta membersihkan sampah yang kita hasilkan, namun sering luput dari perhatian kita. Mereka ini adalah petugas sampah. Bayangkan saja jika tidak ada mereka, maka sampah akan menumpuk di lingkungan rumah atau di tepi jalan sehingga menimbulkan bau yang tak sedap serta mengundang berbagai serangga & binatang yang pada akhirnya berisiko menyebarkan penyakit.
Sumber gambar :ypbbblog.blogspot.com
Petugas sampah memiliki tugas untuk mengumpulkan sampah dari rumah warga maupun dari tempat pembuangan sampah sementara (TPS) untuk selanjutnya dibawa ke TPA. Mereka biasanya bekerja dengan menggunakan gerobak sampah, sepeda motor ataupun truk pengangkut sampah. Setiap hari para petugas sampah akan berkeliling sesuai wilayah kerjanya masing-masing, berkutat dengan sampah dan bau busuk yang menjadi makanan sehari-hari. Para petugas sampah bekerja dengan gaji dan fasilitas kerja yang terbatas serta dihantui bayang-bayang penyakit yang bisa ditularkan dari sampah seperti kecacingan, infeksi kulit, disentri, infeksi salmonella, penyakit pes dan lain sebagainya.

Sampah terutama yang berasal dari sisa makanan memang mudah sekali membusuk dan menjadi tempat berkembang biak yang ideal bagi berbagai macam kuman serta binatang seperti kecoa, tikus dan lalat. Sampah dari sisa makanan yang membusuk ini saat bercampur dengan sampah non organik akan menghasilkan gas metana yang berbahaya dan menyebabkan efek rumah kaca. Menurut penelitian, gas metana memiliki efek merusak atmosfer 21 kali lebih besar daripada CO2. Tumpukan gas metana ini pula yang menyebabkan terjadinya ledakan di TPA Leuwigajah beberapa tahun lalu, memicu longsornya gundukan sampah dan menggulung para pemulung yang sedang mengais sampah di TPA dan warga sekitar hingga menghilangkan 157 nyawa.

Sayangnya masyarakat Indonesia masih terbiasa membuang sampah tanpa memilah. Sampah organik yang berasal dari sisa makanan dibuang begitu saja dan dibiarkan tercampur dengan sampah non organik seperti plastik, kaleng dan lain sebagainya. Dari sisi pengangkutan, selama ini sampah tersebut juga masih diangkut secara tercampur dan dikumpulkan di TPA hingga menggunung. Meskipun di tepi jalan atau di lingkungan perkantoran kadang kita melihat penyediaan tempat sampah yang sudah dipisahkan antara sampah organik dan non organik, namun jika pengangkutannya tetap saja dicampur lalu apa gunanya memilah sampah? Solusi apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah sampah yang jumlahnya terus bertambah?

Program Zero Waste Cities

Penanganan sampah di Indonesia memang masih dipandang sebelah mata. Padahal BPS memprediksi pada tahun 2025, jumlah timbulan sampah di Indonesia akan bertambah menjadi 1,42 kg/orang/hari atau 2,2 miliar ton sampah/tahun yang berasal dari 4,3 miliar orang penduduk Indonesia. Bisa dibayangkan jika sampah ini tidak terkelola dengan baik maka bukan tidak mungkin jika akhirnya negara kita akan menjadi lautan sampah. 

Demi mencegah penumpukan sampah di TPA, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis sampah Rumah Tangga. Dalam kebijakan ini pemerintah menetapkan target pengelolaan sampah yang ingin dicapai yaitu 100% sampah terkelola dengan baik dan benar pada tahun 2025 ( Indonesia Bersih Sampah). Target ini diukur melalui pengurangan sampah sebesar 30% dan penanganan sampah sebesar 70%.

Sumber gambar : ypbb (dimodifikasi)
Program Zero Waste Cities (ZWC) merupakan model pengelolaan sampah kota yang bertujuan untuk menciptakan sistem pengelolaan sampah yang efektif sehingga diharapkan dapat mendukung pemerintah dalam mewujudkan target Indonesia Bersih Sampah pada tahun 2025. Program ZWC juga merupakan wujud nyata dari amanat UU No.18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Didalam peraturan tersebut telah terkandung amanat untuk melakukan pengelolaan sampah secara terdesentralisasi, melalui pemilahan di sumber penghasil sampah serta upaya pengelolaan sampah berkelanjutan melalui kegiatan pengomposan komunal. 

ZWC adalah program yang diinisiasi Mother Earth Foundation Filipina, kemudian program ini direplikasi dan disesuaikan dengan kondisi wilayah dampingan oleh Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB) Bandung sejak tahun 2017 dengan lokasi di tiga kota yaitu Kota Bandung, Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung. Pada tahun 2019 program ZWC dikembangkan pula di Denpasar dan Surabaya yang dijalankan oleh Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) dan Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) yang bermitra dengan YPBB. 

Program ZWC bukanlah program pengelolaan sampah perorangan, namun berbasis kawasan. Sehingga diharapkan dapat diadopsi di kawasan lain seperti RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten hingga seluruh Indonesia. Secara garis besar ada 3 langkah yang menjadi kunci dari pelaksanaan program ZWC yaitu memilah sampah, mengolah sampah langsung di sumber utamanya yaitu masyarakat dan menggalang dukungan dari pemerintah daerah demi menjamin keberlanjutan program.

1. Memilah sampah

Kawasan pemukiman merupakan sumber sampah terbesar di perkotaan, sehingga YPBB melakukan pendekatan kepada masyarakat di wilayah dampingannya dengan melakukan edukasi tentang pentingnya melakukan pemilahan sampah. 

Pemilahan sampah ala YPBB. sumber gambar :ypbbblog.blogspot.com

Warga hanya diminta untuk memilah sampah organik dan sampah non organik. Sampah hanya dipilah menjadi 2 kelompok supaya lebih mudah dan agar masyarakat tidak merasa frustasi saat harus memilah sampah di rumahnya setiap hari. Pemahaman sederhananya, yang penting sampah sisa makanan yang bisa membusuk tidak tercampur dengan sampah non organik.

2. Mengolah sampah langsung di sumber (masyarakat) 

Setelah semua KK paham dan mau melakukan pemilahan sampah, maka disiapkan pula petugas sampah yang akan mengumpulkan sampah dari rumah warga secara terpilah. Pemberian edukasi tentang pentingnya kegiatan pengumpulan dan pengangkutan sampah secara terpilah dilakukan kepada petugas sampah karena hal ini adalah kunci menuju pengelolaan sampah berbasis kawasan. Selain itu disediakan pula fasilitas berupa ember tertutup untuk mengumpulkan sampah organik serta gerobak yang layak untuk mengangkut sampah yang sudah dipilah di tingkat rumah tangga. 

Sumber gambar : ypbb (dimodifikasi)
Selanjutnya sampah organik dikumpulkan pada lahan yang sudah ditentukan untuk dilakukan pengomposan oleh petugas sampah. Kegiatan pengomposan ini bisa dilakukan dengan berbagai cara sesuai karakteristik kawasan dengan menggunakan berbagai macam metode seperti bata terawang, lubang kompos, biodigester, biopori, magot dan sebagainya. Pupuk komposnya kemudian dapat digunakan untuk memupuk tanaman warga di kawasan, misalnya untuk memupuk tanaman sayuran atau tanaman hias untuk menghijaukan taman di RT, RW, kelurahan maupun dibagikan untuk warga kawasan yang membutuhkan. 
Sumber gambar : ypbb (dimodifikasi)
Selanjutnya sampah non organik akan dikelola dengan cara dilakukan penyortiran lagi. Misalnya sampah botol plastik, kardus, kaleng, botol kaca dan sebagainya yang masih dapat dimanfaatkan kembali akan dikumpulkan oleh petugas dan dapat dijual kepada pihak pengepul sampah daur ulang sehingga akan mendapatkan tambahan penghasilan bagi petugas sampah. Selain dijual ke pengepul, sampah non organik ini juga bisa disumbangkan ke bank sampah tergantung kesepakatan warga. 

3. Menggalang dukungan dari pemerintah daerah demi menjamin keberlanjutan program

Upaya yang dilakukan oleh YPBB ini bertujuan untuk membuat suatu model pengelolaan sampah yang mempunyai sistem pengelolaan sampah terpadu dan terdesentralisasi serta meningkatkan pemahaman masyarakat tentang metode pengelolaan sampah yang sesuai dengan kondisi kawasan masing-masing. Dengan mengelola sampah langsung dari sumber semacam ini maka jumlah sampah yang dibuang ke TPA dapat dikurangi.

Sumber gambar :ypbbblog.blogspot.com
Dalam melaksanakan program ZWC, yayasan ini berkolaborasi dengan Pemerintah Kota Bandung dengan tujuan untuk mendapatkan dukungan sistem dari pemerintah agar dapat disiapkan sistem pendukung pengelolaan sampah yang menyeluruh serta dukungan pembiayaan yang berkelanjutan. Meningkatnya peran dan partisipasi warga dalam mengelola sampah perlu mendapatkan dukungan dari pemerintah, agar ada jaminan terhadap keberlanjutan partisipasi tersebut.

Sumber gambar :ypbbblog.blogspot.com
ZWC merupakan program yang dikembangkan di Indonesia oleh YPBB sebagai hasil belajar dari best practice program serupa di Kota San Fernando Filipina. Dukungan kebijakan sangat kuat, dimana pemerintah Filipina membuat aturan agar masyarakat memilah sampah. Diberlakukan pula sanksi berupa denda bila ada masyarakat yang tidak memilah dan mengumpulkan sampah secara terpilah. Kota ini juga memberlakukan aturan tentang larangan penggunaan plastik sehingga berhasil mengurangi produksi sampah plastik hingga 20%. Program Zero Waste Cities yang diterapkan telah berhasil mengurangi 80% sampah di Kota San Fernando.

Memanusiakan Petugas Sampah Melalui Program Zero Waste Cities

Petugas sampah adalah garda terdepan dalam menangani masalah sampah. Tanpa keberadaan mereka maka lingkungan yang bersih, nyaman dan bebas sampah tidak akan pernah bisa terwujud. Di lingkungan kompleks atau perumahan, petugas sampah ini biasa dipanggil dengan sebutan pak Sampah atau tukang sampah. Setiap hari pak Sampah ini akan berkeliling dari rumah ke rumah untuk mengumpulkan sampah. Sungguh tugas yang sangat mulia namun risiko yang mereka hadapi cukup berat.

Sumber gambar : ypbb (dimodifikasi)
Masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam melakukan pemilahan sampah di tingkat rumah tangga serta kurangnya perhatian kepada petugas sampah menjadi penyebab utama tingginya risiko yang harus dihadapi oleh pak Sampah. Sebagai contoh adalah beberapa kasus yang pernah terjadi di Bandung Raya yaitu pada tahun 2018, ada almarhum Hermawan yang meninggal karena luka terkena tusukan sate yang dibuang dan bercampur dengan sampah lainnya. Kemudian ada juga mang Udin, seorang petugas sampah RW 09 Kelurahan Sukaluyu, Kota Bandung yang beberapa kali terluka akibat sampah tusuk sate serta pernah jatuh sakit lantaran terpapar aroma sampah yang tercampur. Ada pula mang Kosasih, petugas pengumpul sampah RW 07 Kelurahan Padasuka, Kota Cimahi yang sempat pincang akibat terkena tusuk sate. 

Kondisi sampah sisa makanan yang tercampur dengan sampah non organik membuat tugas pak Sampah menjadi lebih berat. Apalagi rata-rata pak sampah ini bekerja dengan Alat Pelindung Diri (APD) yang minim. Gerobak sampah yang digunakan juga biasanya kurang layak kondisinya. Kotoran dan bau selalu menempel di gerobak sampah yang mereka gunakan untuk bekerja sehari-hari. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan juga menyebutkan bahwa petugas sampah dan orang yang bekerja di TPA sering mengalami gangguan pencernaan akibat personal hygiene yang buruk dan kurangnya perhatian pada pekerja. Selain itu banyak juga kasus penyakit kulit serta gangguan indera penciuman akibat terpapar bau.

Program Zero Waste Cities yang telah dilaksanakan dan didampingi langsung oleh YPBB di Bandung, Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Karawang serta Kabupaten Purwakarta telah memberikan dampak yang positif salah satunya adalah meningkatkan kualitas hidup petugas sampah.

Sampah organik dan sampah non organik yang sudah dipilah oleh warga di tingkat rumah tangga, membuat pekerjaan pak Sampah menjadi lebih ringan. Saat mereka mengumpulkan sampah non organik yang masih bisa dimanfaatkan kembali, misalnya dijual untuk didaur ulang, maka pak sampah ini tak perlu lagi berkutat dengan masalah bau busuk sampah. Tak ada lagi sisa makanan membusuk yang tercampur pada sampah non organik tersebut, karena sampah sudah dipilah warga sejak dari tingkat rumah tangga.

Dari sisi kesehatan dan keselamatan kerja, YPBB juga mendorong untuk meningkatkan perhatian kepada petugas sampah agar mereka dapat bekerja dengan standar keamanan yang lebih baik yaitu dengan dilengkapi APD berupa sepatu boots, masker untuk menahan udara dan gas beracun agar tak terhirup, serta sarung tangan untuk melindungi kulit dari kuman serta virus berbahaya. Selain itu diberikan juga fasilitas untuk petugas sampah berupa peralatan pengumpul sampah yang lebih layak seperti gerobak layak pakai, sepeda motor roda tiga untuk memudahkan penarikan gerobak, dan gacok untuk membongkar sampah yang terkumpul.

Sumber gambar :ypbbblog.blogspot.com
Pada bulan Agustus 2020, YPBB telah berupaya untuk mengumpulkan donasi yang dibagikan kepada 228 petugas pengumpul sampah di wilayah dampingan YPBB yang tersebar di Kota Bandung, Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung. Donasi ini diwujudkan dalam pemberian paket yang berisi satu pasang sepatu boots, satu botol sabun cuci tangan, 5 kilogram beras dan 2 liter minyak goreng. Donasi ini juga sekaligus merupakan wujud apresiasi bagi para petugas pengumpul sampah RW yang telah konsisten melakukan pengumpulan sampah terpilah yang merupakan tahapan penting dalam program Zero Waste Cities.

Tak hanya sebatas pada pemberian donasi bagi petugas sampah, YPBB juga berupaya untuk mendorong kepedulian pemerintah terhadap peran penting petugas sampah. Pemerintah kota/kabupaten diharapkan dapat mengembangkan kebijakan pembiayaan yang dapat mendanai pengelolaan sampah yang tepat, termasuk bagi petugas pengumpul sampah agar bisa dibayar layak.

Upaya yang dilakukan oleh YPBB ini, telah berhasil mendorong Dinas Lingkungan Hidup Kota Cimahi menganggarkan untuk uji coba penerapan pengumpulan sampah terpilah dari sumber di dua kelurahan. Namun anggaran tersebut kemudian direalokasi untuk penanganan situasi darurat Covid-19. Sehingga rencana penerapan di Kelurahan Cibabat dan Kelurahan Pasirkaliki, Kota Cimahi, terpaksa mundur dan akan dilakukan di tahun 2021.

Selain itu, di Kelurahan Sukamiskin dan Kelurahan Cihaurgeulis, Kota Bandung, masing-masing petugas sampah mendapat insentif sebesar Rp 1.250.000,- dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bandung untuk melakukan pengumpulan terpilah. Kebijakan ini berlaku selama satu tahun di kedua kelurahan model ZWC tersebut. Kelurahan Neglasari juga berinisiatif memberi insentif untuk pengawas petugas pengumpul dan pengelola sampah kelurahan. Perhatian terhadap petugas sampah sudah mulai dilakukan pula di Kota Bandung dan Kota Cimahi, walaupun masih terbatas di kelurahan model. 

Apa yang bisa kita lakukan untuk memanusiakan petugas sampah ?

Hingga kini sampah masih menjadi permasalahan yang pelik di Indonesia. Padahal jumlah sampah terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk. Ada tiga hal utama yang menjadi sumber penyebab kenapa masalah sampah ini tak kunjung tertangani dengan baik, yaitu budaya dan perilaku masyarakat yang masih kurang peduli terhadap pengelolaan sampah, kedua permasalahan sampah plastik yang terus meningkat dan yang ketiga adalah kurangnya kapasitas pemerintah daerah dalam melakukan pengelolaan sampah yang baik dan benar.

Program ZWC yang diinisiasi oleh YPBB yang telah saya uraikan di atas, belum mampu menjangkau seluruh kawasan di Indonesia. Sehingga dibutuhkan lebih banyak partisipasi masyarakat serta dukungan dari pemerintah untuk dapat mengkampanyekan dan merealisasikan program semacam ini di wilayahnya masing-masing.

Secara pribadi saya tertarik dengan program Zero Waste Cities. Karena selama ini saya sudah berupaya melakukan pemilahan sampah secara mandiri di rumah, namun belum ada fasilitas pengumpulan dan pengangkutan sampah secara terpilah di kawasan tempat tinggal saya. Apalagi program pengelolaan sampah berbasis kawasan. Saya setuju dengan pemilahan sampah yang cukup dikelompokkan menjadi 2 saja yaitu sampah organik dan non organik. Hal ini juga sudah saya lakukan di rumah dan memang terasa jauh lebih mudah.

Namun upaya yang saya lakukan sendirian ini, kadang terasa melelahkan terutama saat melakukan pengelolaan terhadap sampah organik. Dulu saya pernah berusaha untuk melakukan pengomposan sampah organik dengan menggunakan komposter gerabah, namun karena kesibukan bekerja kini hal tersebut tak lagi saya lakukan. Sampah organik ini akhirnya saya kelola dengan cara dikubur di halaman rumah.
Foto : Dok.Pribadi
Sementara sampah non organik saya sisihkan pada tempat sampah tersendiri yang terlindung dari air hujan. Ketika sudah penuh maka sampah tersebut diambil oleh petugas sampah yang memang khusus mengumpulkan sampah non organik yang bisa dijual lagi untuk didaur ulang. Bagi mereka, sampah ini bisa menjadi berkah. Kondisi sampah non organik yang tidak terkontaminasi dengan sampah organik ini juga membuat mereka lebih nyaman ketika melakukan pemilahan ulang sampah non organik karena tidak ada bau busuk yang menggangu. 

Memilah sampah tampak seperti kegiatan yang sederhana. Namun nyatanya belum semua orang bisa melakukan pemilahan sampah karena masih adanya rasa enggan dan kurang peduli pada petugas sampah. Sampah organik merupakan penyumbang terbesar dari jenis sampah yang bersumber dari rumah tangga. Sampah organik yang dihasilkan rumah tangga biasanya terdiri dari sampah sisa sayuran atau sisa bahan mentah lainnya yang digunakan untuk memasak serta sampah sisa makanan terolah yang tidak habis dikonsumsi. Sampah organik yang membusuk inilah yang seringkali membuat pekerjaan petugas sampah jadi terasa menjijikkan. Bayangkan jika mereka harus memisahkan antara sampah organik dan non organik yang sudah tercampur. Kemudian masih harus mencuci sampah non organik yang bisa didaur ulang untuk dijual kembali. 
Foto : Dok.Pribadi
Pemilahan sampah jika dilakukan dengan niat untuk memanusiakan petugas sampah, tentu akan lebih mudah menggugah rasa empati masyarakat. Jika kita bicara tentang pentingnya memilah sampah untuk penyelamatan lingkungan dari perubahan iklim mungkin bagi masyarakat awam, agak rumit membayangkan hubungan antara pemilahan sampah dengan masalah perubahan iklim. Sehingga kesadaran dan kepedulian untuk memilah sampah kurang tergugah.

Namun jika dilakukan dengan niat untuk memanusiakan petugas sampah agar pekerjaan mereka menjadi lebih ringan maka rasa kemanusiaan semacam ini akan lebih mudah ditumbuhkan dan membangkitkan semangat untuk bertanggung jawab terhadap sampah. 

Wujud tanggung jawab terhadap sampah yang kita hasilkan bukan hanya sekedar tertib membuang sampah pada tempatnya, namun juga tentang bagaimana caranya agar sampah yang kita hasilkan tidak menyusahkan atau mencelakakan petugas sampah yang mengumpulkannya

Setelah memulai dari diri sendiri, maka tidak ada ruginya jika kita melakukan pendekatan kepada tokoh masyarakat di kawasan tempat tinggal kita seperti ketua RT atau RW dan menggalang kekompakan warga untuk membuat model pengelolaan sampah berbasis kawasan seperti program ZWC yang dilakukan oleh YPBB. Jika program ini sudah berjalan dengan baik di tingkat RT atau RW maka bisa digunakan sebagai model untuk meminta dukungan dari pemerintah daerah. Dengan begitu dampak berupa peningkatan kualitas hidup petugas sampah serta berkurangnya jumlah sampah yang dibuang ke TPA akan lebih nyata jika dibandingkan dengan ketika kita melakukan pemilahan sampah secara pribadi.

Jika kamu tertarik untuk mengembangkan Program Zero Waste Cities di kawasan tempat tinggalmu, maka kamu bisa menghubungi YPBB untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap.
Instagram : @ypbbbandung
Twitter : @ypbbbdg
Website : http://ypbbblog.blogspot.com/

Pengelolaan sampah di Indonesia selama ini memang masih banyak dilakukan dengan cara open dumping yaitu sampah dibuang begitu saja tanpa dipilah di tempat pembuangan akhir (TPA) dan dibiarkan menggunung serta menyebarkan bau yang tidak sedap ke lingkungan sekitar TPA. Model pengelolaan sampah secara open dumping ini juga rawan longsor, sebagai contoh adalah tragedi Leuwigajah yang terjadi pada 21 Februari 2015 silam. Pada saat itu ada 157 warga meninggal akibat dari longsornya TPA Leuwigajah yang terletak di Cimahi, Jawa Barat. Bahkan dikabarkan bahwa terdapat 2 kampung yang hilang dari peta karena tergulung oleh longsoran gunung sampah tersebut. 

Tragedi yang memilukan ini seharusnya mampu menyadarkan kita semua untuk lebih peduli pada pengelolaan sampah dan juga petugas sampah. Sehingga pada tanggal 21 Februari yang ditetapkan pemerintah sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) dapat dijadikan sebagai momen pengingat untuk mendoakan para korban tragedi Leuwigajah serta melakukan upaya nyata demi mencegah tragedi semacam ini terulang kembali.

#ZeroWasteCities  #KompetisiBlogZWC #KompakPilahSampah 

*) Sumber Referensi : http://ypbbblog.blogspot.com/ 

You May Also Like

0 comments

Terimakasih Teman-Teman Semua Atas Komentarnya :)