Tentang Aku dan Bapak (Part.1)

by - November 23, 2020

Kisah ini kutulis untuk berbagi hikmah. Jika ada pembaca yang bisa mendapatkan manfaat positif dari tulisan ini maka aku berharap pahala kebaikannya bisa menjadi amal jariyah yang tercurah tiada henti untuk almarhum bapakku

Sosok bapak di masa kecilku

Sejak kecil aku selalu mengagumi bapak, meski disatu sisi aku takut pada beliau karena sifatnya yang keras dan galak. Iya bapakku memang galak sekali. Meskipun bapak terkesan galak dan menakutkan, tapi saat masih kecil aku sangat mengagumi beliau. Di mataku bapak adalah sosok yang hebat dan populer. Bapakku adalah penceramah yang sering mengisi pengajian di mana-mana. Bapak juga sangat pandai berorganisasi, temannya banyak dan ia disegani. Tidak seperti aku yang saat kecil sangat cupu, pemalu, tidak berani tampil dan tidak punya prestasi apa-apa. Kadang aku merasa ingin bisa seperti bapak, tapi aku merasa tidak bisa.

Bapakku juga seorang guru SMA yang nyambi kerja menjadi tutor di salah satu lembaga bimbingan belajar di jogja. Bapak adalah orang yang suka membaca. Koleksi bukunya banyak sekali, penuh hampir satu lemari. Bapak juga suka menulis, beliau sering membuat modul untuk bahan pelajaran sekolah. Beliau juga pernah menjadi kepala sekolah. Ya.. menurutku bapak adalah orang yang hebat, dan saat masih kecil aku merasa tidak yakin apakah kelak aku bisa memiliki prestasi seperti bapak.
Aku, bapak dan tiga saudaraku saat kami masih kecil
Aku bisa sholat dan mengaji lantaran bapak sendiri yang mengajariku, meskipun dulu belajarnya sambil dibentak-bentak. Waktu SD, bapak pula yang setiap hari mengantar jemputku ke sekolah karena letak sekolahku satu komplek dengan kantor bapak. Begitu aku SMP aku sudah tidak lagi diantar bapak, karena aku sudah bisa naik sepeda sendiri pergi ke sekolah yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahku. 

Saat badai itu datang

Tahun 1999, saat aku SMA bapak tiba-tiba sakit. Dan kehidupan keluarga kami berubah sejak saat itu. Bapak tidak sakit fisik, tapi bapak menderita kecemasan berlebihan. Kata psikiater ada semacam depresi terselubung. Bapak menjalani terapi dan pengobatan yang mengakibatkan bapak menjadi berubah. Bapak lebih sering tidur, murung, gelisah tak jarang juga marah-marah. Kala itu aku merasa kehilangan sosok bapak yang sejak kecil kubanggakan. Aku sering merasa iba melihat kondisi bapak. Dalam doa aku sering menangis, Tuhan kembalikan bapakku seperti dulu...tapi Tuhan tak kunjung mengabulkan doaku.

Tahun 2000, aku melanjutkan kuliah ke semarang dan kondisi bapakku belum juga membaik. Selama aku kuliah di semarang, aku tidak tau apa yang terjadi antara bapak dan ibuku. Namun yang aku tahu setelah 6 tahun bapakku berobat dan tak kunjung sembuh, ibuku mulai lelah merawat bapak. Ibuku memilih pergi, karena tidak tahan dimarahi dan dibentak oleh bapak yang sedang sakit. Sakit bapak nggak akan bisa sembuh, begitu kata ibuku saat itu. Ibu pulang ke rumah nenek, namun orang tuaku saat itu belum bercerai.

Tahun 2005, saat itu aku sudah selesai kuliah dan sudah bekerja. Aku kembali ke jogja dan tinggal di rumah bersama bapak dan adik-adikku. Ibuku lebih sering tinggal di rumah nenek. Suatu saat bapak pernah sambat padaku, beliau merasa sedih karena ditinggalkan ibu. Kemudian kukatakan bahwa ibu lelah dan ingin bapak berubah tidak sering marah-marah lagi. Mungkin jika bapak mau berusaha lebih keras untuk sembuh yaitu mengendalikan sendiri pikiran negatif yang menggangu maka ibu akan pulang, begitu jawabku.

Sejak perbincangan itu bapak tampak berusaha untuk menyembuhkan dirinya. Bapak memilih untuk berhenti minum obat penenang yang diberikan oleh psikiater dan lebih mendekatkan diri pada Tuhan yaitu dengan memperbanyak sholat malam, dzikir, puasa sunnah dan sebagainya. Oia..kecemasan berlebihan yang diderita bapak adalah sering dihantui rasa takut akan kematian. Kadang aku heran kenapa seorang bapak yang menurutku sangat paham agama bisa dihantui perasaan seperti itu hingga membuatnya depresi. Kata bapak, beliau sering mendengar bisikan-bisikan aneh dan suara negatif di telinganya dan itu membuat bapak tersiksa. 

Ajaibnya setelah 7 tahun berjuang, akhirnya usaha bapak untuk menyembuhkan diri sendiri berhasil, justru setelah ibu meninggalkan bapak. Pilihan bapak untuk berhenti minum obat penenang malah perlahan membuat beliau sembuh. Selanjutnya aku melihat usaha bapak untuk kembali mendekati ibu supaya ibu mau pulang. Aku pernah melihat bapak berusaha menyiapkan makan malam sendiri kemudian meminta ibu, aku dan adik-adikku duduk bersama untuk makan malam bersama. Bapak rindu dengan suasana makan bersama keluarga. Namun hal itu malah membuat ibuku tak berkenan. Aku bisa memahami betapa kecewanya bapak saat itu. Bapak juga pernah menyusul ibu ke rumah nenek, mencoba mengajak ibu bicara tapi hasilnya tetap nihil. Mungkin hati ibu sudah beku, entah apa penyebabnya aku tak tahu. Aku pernah menanyakan hal ini pada ibuku, kata ibu intinya ibu sudah trauma dengan bapak yang katanya pernah melakukan KDRT pada ibu.

Suatu hari bapak mengajakku bicara serius. Bapak berkata bahwa beliau sudah berusaha mengajak ibu pulang untuk membangun kembali keluarga yang utuh, tapi bapak merasa ibu sudah tak mau. Kemudian bapak sampaikan keputusannya tentang sebuah perpisahan yang sah secara islam. Kata bapak, daripada hidup pisah rumah lebih dari setahun seperti ini malah tidak baik secara agama lebih baik bapak bercerai secara resmi meskipun itu dibenci Allah. Begitu kata bapak. Aku tak bisa menjawab dan hanya diam kala itu. Dalam hatiku, aku merasa kesal dan bingung...kenapa ini harus terjadi.

Tahun 2006 pasca gempa. Perceraian itu benar-benar terjadi. Suatu siang saat aku berada di rumah bersama adikku ada petugas dari kementerian agama datang ke rumah. Petugas itu mencari bapak, tapi bapak masih di kantor. Ibu juga tidak di rumah, karena sedang di rumah nenek. Awalnya bapak berseragam hijau itu tampak bingung, kemudian dengan hati-hati dia bertanya padaku, "Dek di rumah sama siapa saja?", lalu kujawab "Hanya ada saya dan adik saya pak". Kemudian petugas itu mengeluarkan amplop berwarna coklat yang ada kop surat kementerian agama. "Dek, sudah tau ya kalau orang tuanya mau...", "Bercerai ya pak...iya saya sudah tau", jawabku memotong karena bapak petugas itu seperti merasa agak berat hendak mengucapkan kata bercerai. "Iya..dek, ini saya mendapat tugas mengantarkan surat panggilan untuk bapak. Karena bapak sedang tidak di rumah. Saya titip ya dek disampaikan ke bapak". Petugas tersebut menyerahkan amplop coklat itu kepadaku. Aku masih ingat sekali siang itu juga turun hujan, sehingga bapak petugas dari kementerian agama tersebut sempat numpang sebentar menunggu hujan reda di teras rumahku. Sambil menunggu hujan reda, beliau sempat menasihatiku dengan kalimat yang sabar ya dek..dan sebelum dia berpamitan pergi, dia memberikan sekantung plastik buah yang tergantung di sepeda motornya kepadaku. Padahal mungkin itu sebenarnya oleh-oleh yang mau dibawa pulang untuk anaknya. Aku sempat menolaknya.."Tidak usah pak, terimakasih". Tapi bapak tersebut tetap meletakkan kantong plastik berisi buah itu di kursi teras rumahku sambil berkata. "Nggak papa dek, buat adek-adeknya ya...saya pamit dulu..terimakasih", kemudian beliau memacu sepeda motornya di tengah hujan yang masih turun rintik-rintik.

Selanjutnya proses perceraian orang tuaku tidak berjalan dengan smooth. Setelah melalui berbagai drama yang tak berkesudahan yang sangat menggangu psikis dan mental kami akhirnya anak-anak dihadapkan pada pilihan. Kalian mau ikut siapa?Bapak atau ibu?pilihan yang sulit bukan?Oiya kami 4 bersaudara dan aku anak kedua. Kakak perempuanku sudah menikah sehingga yang mengalami rasa bingung untuk ikut siapa adalah aku dan 2 adik laki-lakiku. Iya perceraian orang tuaku memang tidak berjalan smooth. Masing-masing pihak merasa benar. Bapakku merasa benar, ibuku juga merasa benar. Untuk masalah anak ikut siapa, sebenarnya bapak tidak mempermasalahkan. Semua terserah anak-anak karena kami semua sudah besar. Namun ibu ingin semua anak ikut ibu termasuk aku. Tapi aku tidak mau, aku memutuskan untuk ikut bapak.

Bukan aku membenci ibuku. Aku tak pernah membenci ibu, meskipun kadang aku merasa kesal dengan sikap ibu yang tak mau menerima bapak lagi. Saat itu 2 adik laki-lakiku memilih ikut ibu. Hanya aku sendiri yang berbeda pikiran. Pikirku, jika aku juga ikut ibu, maka siapa yang menemani bapakku? Apalagi bapak punya riwayat pernah depresi, aku khawatir jika bapak sendirian di rumah tanpa teman bicara maka psikis bapak akan terganggu lagi seperti dulu. Itu yang aku khawatirkan. Satu-satunya alasanku ikut bapak adalah karena aku kasihan sama bapak.

Tapi keputusanku untuk menemani bapak ternyata tidak diterima dengan baik oleh ibuku. Ibu menganggap bahwa aku tidak menyayanginya, ibu menganggap aku tidak membelanya dimana saat itu ibuku merasa sebagai korban. Padahal bukan itu maksudku. Keputusanku ikut bapak, membuat hubunganku dengan ibu menjadi renggang. Pernah suatu hari aku curhat pada bapak tentang hubunganku yang menjadi buruk dengan ibu, kemudian bapak menasihatiku. "Jangan pernah membenci ibumu. Agama mengajarkan bahwa orang tua yang harus dihormati anak pertama kali adalah ibumu dan itu disebut 3 kali, setelah itu baru bapakmu. Perceraian ini hanya mengubah hubungan ibu dengan bapak, tapi tidak mengubah hubungan anak dan orang tua. Sampai kapanpun tidak ada mantan anak" begitu nasihat bapak padaku. Pasca bercerai bapak juga pernah mengumpulkan keempat anaknya. Bapak meminta maaf pada kami berempat atas perceraian yang sudah terjadi. Bapak minta maaf sambil menangis. Dan kami semua hanya bisa terdiam.

Beberapa bulan setelah orang tuaku bercerai, bapak mengajakku bicara tentang rencana bapak untuk menikah lagi. Rencana ini langsung kutolak mentah-mentah. "Aku tak mau punya ibu tiri", kataku saat itu. Bahkan aku mengancam jika bapak sampai menikah lagi dan membawa wanita baru ke rumah maka aku akan pergi dari rumah. Aku belum siap jika bapak menikah lagi. Luka yang kurasakan karena orang tua bercerai saja belum sembuh, kenapa sudah mau menikah lagi.

Waktu itu bapak cerita, ada temannya yang mau mencarikan jodoh karena bapak merasa butuh pendamping. Kata bapak, beliau takut di hari tuanya tidak ada yang mengurus. Lalu kukatakan bahwa aku masih bisa mengurus bapak. Tapi bapak menjawab, bahwa suatu hari aku akan menikah dan akan lebih utama tugasku untuk mengurus suami dan anak-anakku nanti.Ya..benar juga kata bapak, tapi aku belum siap jika bapak menikah lagi kala itu. Itu terlalu cepat. Aku masih berharap suatu hari bapak akan rujuk lagi dengan ibu. 

Ternyata bapak benar-benar dicarikan  jodoh oleh temannya. Aku pernah melihat foto wanita itu ditempel di kamar bapak. Dan aku merasa sangat marah melihatnya. Beberapa kali aku juga pernah mendengar bapak telepon dengan wanita itu sambil bercanda. Dan aku tidak suka. Aku tidak suka bapak dekat dengan wanita lain, aku ingin bapak rujuk dengan ibuku.

Pernah bapak berkata padaku, bahwa beliau ingin mengenalkan calon istrinya itu padaku. Tapi aku langsung mencak-mencak. Aku bilang ke bapak, jika wanita itu sampai menginjakkan kaki ke rumahku maka aku langsung minggat. Begitu emosinya aku kala itu, hingga bapak ikut emosi. Kata bapak, beliau tetap akan menikah walaupun tanpa restu anaknya. Bapak bilang, mungkin ini jodoh bapak yang dikirim Allah dan bapak tidak mau menyia-nyiakannya. Bapak sudah tua, ketika ada wanita yang mau menerima kondisi bapak apa adanya maka bapak akan menikahinya. Begitu alasan bapak ngotot untuk menikah lagi. Oiya..wanita yang akan dinikahi bapak itu juga seorang janda cerai tapi tidak punya anak. Dan aku sangat membencinya, karena bagiku semua ini terlalu cepat.

Patah hati terbesar dalam hidupku adalah bapak

Tahun 2007, saat aku berumur 24 tahun. Suatu siang saat aku sedang mengerjakan tugas di kantor tiba-tiba ibu menelponku. Saat kuangkat ponselku, kudengar suara ibu sangat ketus berkata, "Selamat berbahagia ya..bapakmu sudah menikah lagi. Pasti kamu sangat senang". Lalu ibu langsung menutup telpon setelah berkata seperti itu padaku. Aku hanya bisa melongo...Jujur aku sangat shock dan bingung saat itu. Apa maksudnya ini? Apakah bapak benar-benar sudah menikah lagi?aku sama sekali tak tahu. Yang aku tahu tadi pagi sebelum aku berangkat kerja, bapak masih ada di rumah dan bersiap-siap dengan pakaian rapi. Setahuku bapak mau pergi ke kantor seperti biasa. Tapi tadi pagi bajunya memang kelihatan lebih rapi dan beberapa kali bapak berbicara dengan seseorang melalui telpon. Aku dan bapak memang tak saling bicara sejak pertengkaran karena aku tidak setuju bapak mau menikah lagi. Makanya pagi itu aku tak menanyakan apapun saat melihat bapak berbaju sangat rapi. 

Saat itu perasaanku berkecamuk, aku sakit hati dengan perkataan ibu yang ketus dan menganggap aku berbahagia dengan pernikahan bapak. Tapi aku juga bingung, apa benar bapak sudah menikah lagi. Kepalaku pening dan dadaku terasa sesak karena menahan tangis sambil terus mengetik di depan komputer. Aku tak mau ada orang kantor tau apa yang kurasakan saat itu. Rasanya aku hanya ingin cepat-cepat pulang, bertemu bapak dan menanyakan kebenaran kabar ini.

Aku tiba di rumah sudah sore. Biasanya bapak sudah ada di rumah. Tapi sore itu pintu rumahku masih terkunci. Saat aku masuk ke dalam rumah, aku tidak melihat siapapun. Bapak memang belum pulang. Kuletakkan tas kerjaku di meja kamar dan aku menemukan sebuah amplop surat tergeletak di sana. Ada tulisan dengan tinta hitam di sampul surat tersebut,  "Untuk mbak Ari". Aku sangat mengenali tulisan tangan itu...iya itu tulisan bapak.

"Mbak Ari maaf hari ini bapak menikah tanpa memberitahu kalian anak-anak bapak. Setelah menikah, bapak tinggal di rumah istri bapak. Kalian anak-anak tetaplah saling rukun di rumah. Mbak Ari sudah besar dan bapak percaya bahwa mbak Ari bisa menjaga diri" Sebenarnya suratnya panjang, tapi aku lupa detailnya. Namun secara garis besar seperti itulah isi surat yang ditulis oleh bapak.

Aku langsung masuk ke kamar bapak. Kubuka lemari baju bapak. Sudah kosong. Bapak benar-benar pergi. Perasaanku sangat kacau, aku pergi ke kamar adikku dan ternyata disana ada surat juga untuk adik-adikku yang ditulis oleh bapak.

Aku bingung, kemudian terpikir untuk menelpon pacarku. Aku curhat berharap untuk mendapatkan dukungan moril yang bisa menenangkan hatiku. Tapi tanggapan pacarku saat itu malah membuatku makin sedih. Pacarku malah berkata, aduh bagaimana ini keluargamu kok makin kacau. Apa kata keluargaku nanti kalau mereka tau kondisi keluargamu...OMG bukan dukungan yang kudapat, tapi justru tambahan tekanan. (Untung akhirnya aku tidak pernah jadi menikah dengan dia)

Aku duduk sendiri di ruang tamu masih dengan perasaan tak menentu. Bagaimana nanti kalau adikku pulang. Meskipun secara status adik-adikku ikut ibuku, tapi kadang mereka masih pulang ke rumah. Mereka tidak sepenuhnya tinggal di rumah nenek bersama ibu. Bapak juga masih membiayai sekolah mereka. Dan benar saja menjelang magrib, satu per satu adikku datang. Mereka masuk kamar dan menemukan surat dari bapak. Setelah mereka membaca surat masing-masing, mereka menyusul aku di ruang tamu. Kami bertiga duduk terdiam. Bingung nggak tau harus ngapain. Lalu adikku yang paling kecil yang saat itu masih SMA bertanya padaku, "Terus kita gimana mbak?", aku sempat diam cukup lama. Lalu kujawab, "Ya sudah kita tetap tinggal disini, kata bapak kita boleh tinggal di rumah ini selamanya. Nanti aku yang urus semua kebutuhan rumah. Aku sudah kerja dan sudah punya gaji. Kalian nggak usah khawatir. Pikirkan saja sekolah kalian, nggak usah mikir macam-macam".
ilustrasi : hipwee
Adikku diam mendengar jawabanku. Aku tau perasaan mereka pasti sama denganku. Kami merasa ditinggalkan oleh bapak. Dan kejadian ini terasa seperti petir menyambar di siang bolong. Kemudian mereka memilih untuk pergi dengan sepeda motornya masing-masing. Kubiarkan saja, biar mereka menenangkan diri dengan cara mereka masing-masing. Aku memilih tetap diam di rumah. Sendirian...dengan perasaan yang terluka sangat dalam. Luka karena perkataan ibu yang sangat ketus tadi pagi saat menelponku, luka karena membaca surat yang ditinggalkan oleh bapak di meja kamarku sore itu dan masih ditambah luka dengan perkataan pacarku yang sama sekali tidak menunjukkan rasa empati padaku. Hatiku benar-benar patah, hancur berkeping-keping. Ambyar...... Tapi anehnya saat itu aku tak bisa menangis. Aku juga tak ingin menelpon siapa-siapa lagi, termasuk kakak perempuanku yang sudah menikah. Aku tidak memberitahunya. Biar saja nanti dia tahu sendiri. Aku merasa tidak perlu lagi curhat dengan siapapun. Aku hanya marah, sangat marah..... dan tekadku sudah bulat. Akan kubuktikan bahwa aku bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang tuaku atau siapapun. Tapi jauh di lubuk hatiku, aku merasa sangat sendirian dan kesepian.

Bersambung Part. 2


You May Also Like

0 comments

Terimakasih Teman-Teman Semua Atas Komentarnya :)