Tentang Aku dan Bapak (Part.2)

by - November 23, 2020

Kisah ini kutulis untuk berbagi hikmah. Jika ada pembaca yang bisa mendapatkan manfaat positif dari tulisan ini maka aku berharap pahala kebaikannya bisa menjadi amal jariyah yang tercurah tiada henti untuk almarhum bapakku

Bagian awal tulisan ini ada di Part. 1

Semakin hari rasa egoisku semakin besar. Aku tak mau lagi memikirkan bapak. Aku merasa dikhianati oleh bapak. Padahal aku sudah rela dicaci maki ibuku, demi memilih ikut bapak pasca perceraian orang tuaku. Semua kulakukan demi menemani bapak supaya beliau tidak merasa sendirian, tapi justru aku malah ditinggalkan demi wanita lain. Pernah juga aku menangis, tapi aku terus menguatkan hatiku sendiri. Nggak boleh nangis.

Bagaimana bila kamu merasa tidak memiliki tumpuan untuk mengadu, merasa kepalamu hampir pecah dan hatimu sangat lelah, tetapi tidak ada seorang ayah yang bertanya tentang apa yang kamu rasakan atau bahkan berjanji bahwa keadaan akan membaik?_hipwee

Tahun 2008 aku akhirnya bertemu dengan seseorang yang mau menerima kondisiku dan keluargaku. Dialah lelaki terbaik yang kini menjadi suamiku. Rencana menikah ini membuatku mau tidak mau menghubungi bapak lagi. Karena sebagai anak perempuan aku sangat membutuhkan bapak untuk menjadi wali nikahku. Aku menikah dengan biayaku sendiri. Tidak minta uang ke bapak ataupun ibu. Saking mandirinya, bahkan sampai petugas KUA heran saat mereka melihat berkasku ketika mendaftar untuk menikah. "Lho ini yang tertulis di dalam kartu keluarga (KK) kok namanya mbak ari sendiri,orang tuanya kemana?", tanya mereka. Lalu kujawab saja dengan jujur, "Bapak dan ibu saya cerai pak, mereka sudah pisah KK. Saya ikut KK nya bapak. Tapi sekarang bapak sudah menikah lagi dan pindah ikut KK istrinya. Adik saya semua ikut KKnya ibu. Makanya nama saya tinggal sendirian di KK". Mendengar jawabanku sekilas aku melihat tatapan iba dari petugas KUA, tapi kemudian petugas itu mengajakku bercanda. "Ya sudah nggak apa-apa mbak, sebentar lagi kan menikah. Nanti ikut KK suami, jadi ada temannya lagi mbak..hehe". Dan akupun ikut tertawa.

Singkat cerita sejak aku menikah dengan suamiku, hubunganku mulai membaik dengan ibuku. Tapi hubunganku dengan bapak masih belum cair. Meskipun bapak sebenarnya sudah pernah mencoba memintaku menerima kehadiran istrinya, tapi aku tetap belum mau. Sejak menikah aku banyak belajar dari keluarga suamiku tentang hubungan anak dan orang tua. Aku bersyukur Tuhan memberiku suami yang baik serta bapak dan ibu mertua yang sangat baik pula padaku. Bapak dan ibu mertuaku sangat menyayangiku seperti anak sendiri, sehingga rasa kosong di hatiku perlahan-lahan mulai terisi dengan perasaan bahwa aku tidak sendirian lagi. Saking baiknya bapak mertuaku padaku, akupun pernah merasakan kehilangan yang sangat besar saat beliau berpulang secara mendadak di hari jumat pada tahun 2018. Al fatihah untuk beliau.

Di surga ada banyak pintu. Yang paling nyaman dimasuki adalah yang paling tengah. Dan sebab untuk bisa masuk surga melalui pintu tersebut adalah melakukan kewajiban kepada orang tua.’ (Tuhfah Al-Ahwadzi, 6: 8-9)

Melihat bakti suamiku kepada kedua orang tuanya, menumbuhkan keinginan dalam hatiku untuk bisa berbakti juga pada orang tuaku. Tapi bagaimana caranya, perasaanku seperti terlanjur mati dan datar. Kadang aku merasa ingin tidak peduli saja kepada orang tuaku, tapi bagaimana bisa aku tak peduli pada mereka sementara darah keduanya mengalir di dalam tubuhku. Namun aku rasanya seperti berdusta jika aku berkata bahwa aku sangat mencintai kedua orang tuaku. Itulah yang kurasakan saat itu.

Namun akhirnya tetap kupaksakan untuk menunjukkan bakti pada bapak, minimal supaya aku tidak dianggap sebagai anak durhaka. Setelah aku tau rumah bapak maka setahun sekali saat lebaran akupun datang untuk menjalankan formalitas mohon maaf lahir batin kepada bapak. Hal ini kulakukan tanpa sepengetahuan ibuku. Jika ibu tahu maka dia akan marah dan aku malas mencari masalah. Entah kenapa ibuku masih tidak rela jika tau ada anaknya yang masih berkomunikasi dengan bapak.  Padahal niatku hanya ingin menjalankan pesan bapak, bahwa tidak ada yang namanya mantan anak. 

Saat itu jika berkunjung ke rumah bapak, aku tidak mau bersalaman dengan istrinya bapak. Memanggilnya ibu pun aku tak mau. Karena dia bukan ibuku. Istri bapakpun sepertinya tau diri, saat aku datang ke rumah bapak untuk silaturahmi lebaran, ia juga tak pernah menampakkan diri. 

Selama bertahun-tahun hubunganku dengan bapak hanya seperti itu. Kami saling bertemu hanya saat lebaran. Itupun tidak sampai 1 jam, dan aku selalu merahasiakannya dari ibuku. Bapakpun tahu jika ibu masih membenci bapak. Beberapa kali bapak menitipkan permintaan maafnya kepada ibu melalui aku, tapi tak pernah kusampaikan. Karena aku takut ibu marah jika ibu tau bahwa aku berkunjung ke rumah bapak. Aku sudah tidak mau cari masalah, aku hanya ingin hidupku tenang. Aku lelah mendengar ucapan ibu yang masih saja terus mengungkit keburukan bapak di masa lalu. Iya bapak memang pernah membuatku sakit hati, tapi aku sudah memaafkan bapak secara pribadi. Namun aku belum bisa menerima istrinya, entah sampai kapan. 

Kadang aku bingung sendiri dengan apa yang kurasakan saat itu. Di satu sisi aku ingin bisa berbakti kepada ibu dan bapakku seperti anak-anak dalam keluarga normal. Tapi kenapa rasanya sulit sekali. Saat aku ingin berbakti pada bapak, aku takut ibuku marah. Dan bapakku juga mengatakan bahwa aku harus lebih menjaga perasaan ibu daripada perasaan bapak. Namun jika aku dekat dengan ibu, aku bosan mendengar curhatan ibu yang masih saja terus mengungkit kesalahan bapak di masa lalu. Padahal bapak tak pernah melakukan hal semacam itu saat berbicara padaku. Bapak tak pernah menjelekkan ibuku. 

Setelah bercerai bapak sudah banyak mengalah. Bapak pergi dari rumah hanya membawa baju-bajunya saja serta beberapa surat penting milik beliau. Bapak mengijinkan rumah tetap ditempati oleh anak-anaknya termasuk ibuku. Status rumahpun diserahkan kepada anak-anak, tidak menjadi harta gono gini yang harus dibagi dua antara bapak dan ibuku. Saat aku menikah, sebenarnya aku ingin kedua orang tuaku menemaniku duduk di pelaminan. Tapi ibu malah murka mendengar permintaanku. Sebenarnya bapak tidak keberatan melakukannya untukku, namun ibuku tidak mau. Waktu itu ibuku lagi-lagi menyuruhku memilih salah satu. Tentu saja aku tidak bisa, ketika hal ini kukatakan pada bapak. Lagi-lagi bapaklah yang mengalah. "Biar ibu saja yang menemanimu di pelaminan bersama pakdemu. Bapak hanya akan datang saat ijab qabul untuk menikahkanmu. Bapak tidak mau merusak suasana pernikahanmu jika ibumu tidak suka bapak datang".  
Foto bapak saat hadir sebagai wali nikahku, akupun tak punya foto bersama bapak di hari pernikahan
Aku menjadi jauh dari bapak demi menjaga perasaan ibuku. Padahal meskipun aku belum bisa menerima kehadiran istrinya, aku juga sering merindukan perhatian bapak. Pernah suatu hari saat aku akan melahirkan anak pertama aku kirim sms ke bapak. Kukabarkan bahwa aku akan melahirkan dan minta doa dari bapak supaya persalinanku lancar. Bapak membalas smsku dengan doa baik. Akupun senang membacanya. Saat anakku lahir aku berharap bapak datang menengok cucunya. Tapi bapak tak pernah datang ke rumahku. Entah, mungkin bapak takut kedatangannya tidak berkenan di hatiku atau bapak khawatir aku dimarahi ibuku, jika ibu sampai tahu bapak datang ke rumahku. Bahkan saat kelahiran anak kedua aku juga sms bapak, tapi bapak juga tak pernah datang untuk menengokku dan anakku. Bapak bisa mengenal anak-anakku karena setiap setahun sekali aku selalu datang ke rumah bapak bersama suami dan anakku untuk formalitas lebaran. Tapi bapak tak pernah berkunjung ke rumahku.

Aku tidak pernah membenci bapak meskipun bapak pernah menjadi patah hati terbesar dalam hidupku. Tapi perasaanku menjadi datar sekali. Kadang aku kangen bapak, tapi jika bertemu bapak di rumahnya rasanya aku ingin cepat-cepat pulang. Entah aku bingung sendiri dengan perasaanku.

Aku sering merasa iri ketika melihat anak perempuan yang bisa sayang banget sama bapaknya. Kenapa aku nggak bisa ya?kenapa perasaanku pada bapak sangat datar. Aku sangat ingin berbakti, tapi kenapa rasa sayang itu sepertinya tertutup oleh perasaan lain yang entah aku tak tahu apa namanya. Bahkan kadang aku merasa tak peduli dengan bapak. Dan aku merasa berhak melakukannya. Sepertinya rasa marahku pada bapak belum bisa benar-benar hilang sejak kejadian bapak meninggalkanku pergi pada tahun 2007. Padahal bapak juga sudah minta maaf padaku dan memintaku untuk ikhlas menerima takdir yang sudah terjadi. Ya aku sudah memaafkan, tapi mungkin saat itu aku belum benar-benar ikhlas.

Aku pernah melakukan suatu hal yang sangat keterlaluan. Suatu hari saat aku berada di kantor, ada teman kantor yang datang memberitahuku. "Bu Arifah itu di ruang periksa ada bapak sama ibunya. Baru cek kesehatan calon haji. Mau ketemu tidak bu? Itu masih ada di ruang periksa nunggu hasil". Kala itu aku sudah pindah kerja di puskesmas, dan ternyata bapakku mendapat jadwal periksa tes kesehatan haji di puskesmas tempatku bekerja. Saat itu bapak sedang persiapan mau berangkat haji. " Kok njenengan tau kalau yang datang itu bapak saya bu?jangan-jangan salah orang", jawab saya." Tadi bapak sendiri yang cerita kalau anaknya kerja disini, nyebut nama lengkap njenengan", kata teman saya. Iya itu memang benar bapak saya, tapi saya nggak mau ketemu karena bapak datang ke puskesmas bersama istrinya. Dengan enteng saya jawab, " Iya betul itu bapak saya bu, tapi yang satunya bukan ibu saya. Itu ibu tiri dan saya malas ketemu". 

Tahun berganti tahun, hubunganku dengan bapak masih saja terasa datar. Bapak tau bahwa aku masih tetap belum bisa menerima kehadiran istrinya meskipun kehidupan bapakku sudah bahagia dengan istrinya. Tapi bapak tak pernah memarahiku. 

Awal titik balik perasaan datarku pada bapak berubah

Hingga pada suatu hari di tahun 2016 aku mendapat kabar dari adikku bahwa bapak masuk rumah sakit karena serangan stroke. Tahukah kalian apa yang kurasakan saat itu. Disatu sisi aku langsung merasa panik, tapi disisi lain aku merasa buat apa harus peduli. Namun kaki tetap menggerakkanku untuk tetap berlari memacu kendaraan menuju rumah sakit demi ingin segera bertemu bapak.

Saat tiba di rumah sakit, aku sangat sedih melihat kondisi bapak. Aku pernah menuliskan tentang perasaanku kala itu di sabtu bersama bapak. Yang paling aku ingat saat kami bertemu saat itu, bapak menangis minta maaf kepadaku. Suaranya terdengar sangat lemah dan lirih, bapak tampak sangat tak berdaya. Kukatakan bahwa aku sudah memaafkan bapak sejak lama dan aku juga minta maaf. Meski begitu aku tidak serta merta langsung berubah menjadi anak saleha yang selalu mendampingi bapak saat sakit. Masih ada rasa canggung dalam diriku jika berada di dekat bapak maupun istri bapak. Jadi selama bapak dirawat di rumah sakit aku hanya datang menengok beberapa kali.

Namun itu adalah awal mula perasaan datarku pada bapak berubah. Setelah bapak diperbolehkan pulang ke rumah, aku mulai lebih sering berkunjung ke rumah bapak. Tidak hanya saat lebaran saja seperti dulu. Aku mulai mau bertemu dan bersalaman dengan istri bapak. Beberapa kali aku juga mulai mau ngobrol dengan istri bapak meskipun masih canggung. Perlahan rasa tidak sukaku pada istri bapak mulai pupus, saat tahu bahwa istri bapak telah merawat bapak dengan sangat baik. 

Tahun 2017, kondisi bapak berkembang semakin baik. Bapak sudah bisa berjalan, berbicara dengan jelas dan hasil cek laboratorium rutinnya setiap bulan juga selalu baik. Meski sudah membaik secara fisik, namun secara psikis terkadang kondisi bapak ngedrop. Bapak masih sering merasa kesakitan di bagian pundak sebelah kiri. Katanya pundaknya sering terasa kencang dan nyeri sekali. Padahal sudah berkali-kali dicek ke dokter tapi dokter tidak pernah menemukan apa masalahnya. Saat merasa kesakitan, bapak sering menghubungi anak-anaknya dan berkata bahwa bapak sudah tidak kuat dengan rasa sakitnya dan merasa bahwa sebentar lagi akan meninggal.

Hal semacam ini sering terjadi sehingga aku beberapa kali tergopoh-gopoh datang ke rumah bapak karena merasa khawatir. Istrinya sampai membawa bapak kembali berkunjung ke psikiater karena tampaknya sakit kecemasan berlebihan yang dialami bapak seperti dulu kembali kambuh. Dalam suatu obrolanku dengan bapak, beliau bercerita bahwa rasa tidak nyaman dan pikiran negatif itu sering datang lagi. Bapak juga sering dihantui perasaan sendirian dan kesepian padahal setiap hari di rumahnya, bapak ditemani oleh istrinya dan anak perempuan bapak yang seusia dengan anak pertamaku. 

Aku pernah bertanya pada bapak, apakah masih ada perasaan yang mengganjal di hati terkait dengan masa lalu? Waktu itu bapak berkata, beliau merasa bahwa ibu masih belum memaafkan bapak dan bapak memintaku menyampaikan permintaan maaf ke ibu. Saat itu tiba-tiba saja ada dorongan dalam hatiku untuk meminta bapak menelpon ibu secara langsung untuk minta maaf. Bapak menyanggupinya asalkan ibuku mau berbicara dengan bapak. Akhirnya kuberanikan untuk menelpon ibuku. Kukatakan bahwa kondisi bapak sedang sakit dan bapak ingin berbicara langsung dengan ibu melalui telepon untuk minta maaf. Itulah pertama kalinya aku mendengar bapak dan ibuku berbicara lagi melalui telepon setelah 10 tahun lamanya mereka bercerai. Bapak menyampaikan permintaan maafnya pada ibu dan ibuku mau menjawab telepon bapak. Dalam hatiku ada perasaan lega mendengarnya. Sejak saat itu aku sudah tidak pernah menyembunyikan informasi apapun tentang bapak pada ibu karena aku yakin bahwa ibuku sudah tidak marah lagi jika tau aku masih berkomunikasi dengan bapak.
Kunjunganku ke rumah bapak saat beliau berulang tahun yang ke 64
Pada tahun 2018 adalah pertama kalinya aku memberi kado saat bapak berulang tahun yang ke 64. Dulu aku tidak pernah peduli dengan ulang tahun bapak, karena bapak juga tak pernah mengingat ulang tahunku. Aku ingat saat itu bapak kubelikan kado sebuah baju batik, yang ternyata ukurannya agak kebesaran tapi aku pernah melihat bapak tetap memakainya. Dan aku senang. 

Di tahun ini pula aku berhasil mempertemukan bapak dan ibuku pada saat lebaran untuk saling bermaafan secara langsung. Saat itu di hari lebaran tahun 2018, bapakku kembali meminta anaknya untuk datang karena bapak merasa sangat kesakitan, kemudian bapak mengabarkan bahwa beliau sedang berada di UGD rumah sakit. Saat bapak memberi kabar, aku sedang bersama dengan ibuku dalam suatu perjalanan. Langsung kukatakan pada ibu bahwa aku mau menengok bapak ke rumah sakit apakah ibu bersedia ikut atau tidak. Ternyata ibuku mau ikut ke rumah sakit dan bertemu bapak. Saat melihat kondisi bapak, ibuku cukup kaget karena memang sudah 10 tahun lebih tidak pernah bertemu. Sepertinya ibu mulai merasa kasihan melihat kondisi bapak yang sudah jatuh sakit. Saat itu ibuku juga sempat bersalaman dengan bapak untuk saling mengucapkan maaf lahir batin di hari lebaran. Dan hatiku menjadi semakin lega.

Tahun 2019 saat aku mulai kuliah di semarang, aku berpamitan pada bapak bahwa mungkin aku akan jadi jarang menengok bapak. Bapakpun menjawab tidak apa-apa, bapak hanya minta agar aku mendoakan bapak supaya beliau bisa pulih dan sehat kembali. Ya tentu saja aku selalu mendoakan bapak supaya beliau cepat sembuh karena aku berharap saat aku wisuda S2 nanti bapak bisa melihatku dengan bangga. 

Kemudian terjadi pandemi diawal tahun 2020 dan itu menyebabkan aku tidak berani menengok bapak terlalu sering. Kondisi bapak sangat rawan terinfeksi virus yang berbahaya tersebut, sehingga aku hanya bisa berkomunikasi dengan bapak melalui handphone. Pada saat lebaran tahun 2020 bapakpun mengirim pesan pada anak-anaknya supaya tidak berkunjung dulu. Sehingga saat lebaran kami hanya bisa berkomunikasi via video call saja.

Tiga bulan sebelum bapak pergi

Bulan Agustus 2020 akhirnya aku bisa datang lagi mengunjungi bapak. Itu adalah kunjungan yang paling membuat hatiku lega. Bapak kelihatan lebih sehat dari sebelumnya, wajahnya pun tampak sangat ceria. Bapak juga sudah jarang mengeluh sakit dan tampak sudah stabil secara psikis. Aku senang dengan perkembangan bapak yang positif tersebut. Kukatakan bahwa selama pandemi aku merasa khawatir jika terlalu sering mengunjungi bapak karena aku takut jika malah membawa virus yang membahayakan kondisi bapak. Tidak mengapa kata bapak, bapak hanya meminta tolong doakan bapak setiap hari.
Kunjunganku ke rumah bapak pada akhir Agustus 2020
Di penghujung bulan oktober 2020, aku kembali datang ke rumah bapak. Setelah aku membaca pesan dari bapak bahwa kondisi bapak memburuk dan bapak ingin bertemu dengan anak-anak. Saat aku datang, aku benar-benar sedih melihat kondisi bapak yang sangat ngedrop. Beliau hanya bisa terbaring di tempat tidur dan terlihat sangat lemah, tidak seperti saat terakhir aku bertemu bapak di bulan agustus. Kami berbincang cukup lama, sambil ditemani oleh istri bapak. Itu adalah obrolan kami bertiga yang paling cair. Dan aku sudah mau memanggil istrinya dengan sebutan bu.

Awal bulan November 2020, firasat itu mulai kurasakan. Rasa takut dan khawatir akan kehilangan bapak. Hari minggu tiba-tiba ada pesan whatsapp dari istri bapak. Itu adalah pertama kalinya istri bapak mengirim wa padaku. Istri bapak mengabarkan bahwa hasil cek laboratorium bapak tidak bagus dan mengirimkan fotonya padaku. Tampak kadar ureum dan kreatinin bapak sangat tinggi dan Hbnya juga sangat rendah. Aku mulai browsing di google untuk mencari informasi apa kira-kira artinya. Ternyata kadar ureum dan kreatinin yang tinggi merupakan pertanda gagal ginjal, kakiku langsung terasa lemas dan perasaanku tidak enak. Dan benar saja, akhirnya bapak harus menjalani cuci darah. Bapak di rawat di rumah sakit selama 5 hari dan menjalani cuci darah sebanyak 2 kali. Selama bapak di RS aku tidak menengoknya karena kondisi pandemi, kami hanya berbincang lewat telpon beberapa kali. Saat bapak merasa takut dan khawatir akan cuci darah, aku menelponnya memberi semangat. Aku meyakinkan bapak untuk berpikir bahwa pasti sembuh karena aku selalu mendoakan bapak.

Saat itulah untuk pertama kalinya sejak 13 tahun berlalu aku mendoakan bapak sampai menitikkan air mata. Aku merasa sangat iba dengan kondisi bapak yang masih terus diuji oleh Allah dengan penyakit yang tak kunjung sembuh. Dalam doaku, kukatakan pada Allah, "Ya Allah saat ini aku sudah benar-benar tidak ada kemarahan sedikitpun pada bapak. Aku sudah memaafkan semua kesalahannya padaku sejak dulu. Aku sudah ikhlas dengan semuanya. Tolong sembuhkan bapakku ya Allah, namun jika itu bukan yang terbaik untuk bapak..kumohon berikan jalan terbaik untuk bapakku. Apapun itu aku akan menerimanya dengan ikhlas. Yang ku inginkan bapakku merasakan kebahagiaan dan ketentraman di masa tuanya dan juga di akhir hayatnya nanti".

Saat itu aku tidak sadar bahwa perasaan datar pada bapak yang selama ini sering kukeluhkan pada suamiku telah sirna. Berganti menjadi rasa sayang yang begitu besar. Aku menangis dalam doaku untuk bapak dan itu membuat hatiku terasa hangat, kemudian lega..Aku belum pernah merasa hatiku selega itu. Aku sangat bersyukur dengan rasa yang Allah hadirkan dalam hatiku. 

Hari minggu tanggal 8 November 2020 aku kembali datang berkunjung ke rumah bapak, saat bapak sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit pasca cuci darah. Bapak masih tampak lemah, namun bapak masih bisa bangun berdiri sendiri untuk pergi ke kamar mandi. Kata bapak, beliau merasa kondisinya sudah lebih baik setelah cuci darah. Beliau juga sudah pasrah dengan apapun takdir yang akan Allah berikan. Tapi bapak tetap masih punya semangat untuk sembuh. Aku tidak menyangka jika itu adalah pertemuan tatap muka langsung antara aku dan bapak untuk yang terakhir kali sebelum bapak berpulang.

Ada sedikit yang kusesali sejak terakhir kali bertemu bapak pada tanggal 8 November. Sebenarnya ada perasaan ingin menelpon atau wa bapak setiap hari. Tapi aku selalu mengabaikan perasaan itu. Karena kesibukanku mengurus anak di rumah, aku selalu menunda untuk menelpon atau mengirim wa pada bapak. Namun dorongan itu menjadi sangat kuat pada tanggal 12 November 2020.

Saat itu adalah hari Ayah nasional. Aku mengingatkan kedua anakku untuk menelpon papanya yang sedang berada di kantor agar mereka mengucapkan hari ayah untuk papanya. Iya..aku tau bagaimana rasa tidak enaknya, jika seorang anak tidak bisa dekat dengan ayah. Makanya aku ingin anak-anakku selalu bisa dekat dengan papanya sama dekatnya denganku. Tayo memilih untuk mengirim pesan wa sementara Tifa mengirimkan voice note. Ku dengar Tifa mengirim voice note pada suamiku, "Papa.. selamat hari ayah ya, terimakasih sudah jadi ayah yang terbaik. I love you papa" begitu kata Tifa manja pada papanya. Dan itu membuatku iri. Karena aku belum pernah bisa berkata seperti itu pada bapakku. Aku tidak terbiasa mengucapkan hari ayah kepada bapak. Dan bapak mungkin juga tidak tahu tentang hari ayah ini. Rasanya aku ingin melakukan hal yang sama seperti Tifa tapi aku canggung.

Namun dorongan itu sangat kuat, untuk mengucapkan hari ayah pada bapak. Tapi aku masih bingung memilih kata. Kemudian kuputuskan untuk mengirim wa saja kepada bapak. Bapak membaca pesanku, namun beliau tidak membalasnya. Saat kutinggalkan ponselku sempat ada misscall dari bapak tapi aku tidak mendengarnya. Dan saat kutelpon bapak kembali, bapak tidak mengangkatnya. Mungkin beliau juga tidak mendengar. Tapi aku tau bapak sudah membaca pesanku karena ada tanda centang biru.

Tanggal 19 November 2020

Perasaan ingin menanyakan kabar bapak kembali mengangguku. Hari kamis pagi kukirim wa pada bapak, tapi bapak tidak membalas. Akhirnya kukirim wa pada istri bapak, dan aku mendapat kabar bahwa kondisi bapak masih belum membaik. Hari selasa kemarin bapak harus cuci darah lagi dan besok jumat pagi bapak dijadwalkan untuk cuci darah lagi. Menjelang sore istri bapak mengirim wa lagi padaku, katanya bapak mengeluh kepalanya sangat pusing dan memintaku untuk menelpon bapak. Aku langsung menelpon bapak. Kutanyakan kondisi bapak, dan kata bapak seluruh badannya teras sangat sakit. Seperti biasa aku memberi semangat pada bapak agar tetap berpikir positif dan ikhlas menerima takdir sakit yang diberikan oleh Allah. Aku juga mengingatkan pada bapak, tentang kisah nabi Ayyub yang dulu pernah didongengkan bapak padaku saat aku masih kecil. Kudengar suara bapak berkata, "Terimakasih ya nduk bapak sudah diingatkan. Pengalaman hidup ini sudah mengajarkan bapak satu hal penting yaitu supaya bapak sadar untuk tidak selalu merasa paling benar". Begitu kata bapak. Dalam perbincangan itu bapak juga memintaku untuk berkunjung ke rumahnya lagi karena bapak ingin bertemu cucu. Kujanjikan hari minggu aku akan datang, namun ternyata jumat dini hari bapak sudah berpulang ke rahmatullah sebelum menjalani proses cuci darahnya yang ke-5.
Dear bapak..hari minggu aku tetap menepati janji berkunjung kerumahmu yang baru bersama anak-anakku. Aku yakin bapak senang :)
Menurut cerita istri bapak, sesudah isya bapak merasa seluruh tubuhnya makin terasa sakit dan minta ditemani. Bapak juga sempat berkata, "Apa aku sudah mau dipundhut Gusti ya?", kemudian istrinya membimbing bapak untuk terus mengucap لا إله إلا الله

Karena kondisi bapak terlihat semakin lemah, istrinya mencoba mengukur tekanan darah dengan tensimeter yang ada di rumah. Hasilnya mencapai 170. Kemudian istrinya memutuskan untuk membawa bapak ke rumah sakit malam itu juga. Mereka hanya berangkat berdua, istrinya menyopir dan bapak dibaringkan di belakang. Sepanjang perjalanan istrinya terus mentalqin bapak dan bapak masih mengikuti, tapi lama-lama tak lagi terdengar suara bapak. Istrinya mengira bapak tertidur. Saat tiba di UGD rumah sakit sekitar jam 1 dini hari, menurut pemeriksaan dokter ternyata bapak sudah meninggal. Kemungkinan meninggal di perjalanan, begitu kata dokter.

Bapak adalah orang baik, mungkin akulah yang kurang baik

Bapakku adalah orang baik, meskipun aku pernah menganggap bapak tidak baik karena dulu beliau pernah meninggalkanku. Mungkin akulah yang kurang baik karena selalu berpikir dari sudut pandangku sendiri. Perasaan complicated itu mungkin sebenarnya terjadi karena selama ini aku sendiri yang belum ikhlas menerima takdir. Perceraian kedua orang tuaku adalah takdir, bukan salah siapapun. Bapak menikah lagi juga takdir Allah, bukan salah siapapun. Aku sendiri yang membuat semuanya terasa complicated. 

Kini bapak sudah pergi untuk selamanya, justru pada saat perasaan datarku pada bapak sudah berganti menjadi rasa sayang yang begitu besar. Mungkin begitulah Allah mengaturnya supaya aku bisa terus berbakti pada bapak melalui doa penuh cinta yang kukirimkan pada beliau setiap hari hingga akhir hayatku nanti. Bukan sekedar doa yang hanya formalitas supaya tidak dianggap sebagai anak durhaka. 

Sampai hari ini aku masih saja menangis jika mengingat bapakku. Bukan karena aku sedih kehilangannya. Aku tidak sedih bapak wafat, karena aku yakin sekarang bapak sudah tidak lagi tersiksa dengan sakit yang dirasakannya. Aku lebih sedih ketika melihat bapak selalu mengeluh dan merintih kesakitan lantaran sakit fisik yang dideritanya, aku tidak tega melihat bapak sakit.

Aku ikhlas melepas bapak, apalagi banyak orang berkata bapak meninggal dalam kondisi baik. InsyaAllah rasa sakit fisik yang diderita bapak selama 4 tahun telah menjadi penghapus bagi dosa-dosa beliau. Bapak meninggal pada hari jumat, menurut istrinya disaat terakhir bapak juga mengikuti talqin dari istrinya. Proses pemakamannya juga berjalan lancar. Banyak yang menyolatkan bapak meskipun kondisi masih pandemi. Ibuku pun mau hadir bersamaku untuk menyolatkan bapak dan mengantar bapak sampai ke peristirahatan terakhirnya. Saat mengantar bapak ke makam, cuaca juga terasa sangat sejuk, tidak panas dan tidak hujan. Hanya mendung tipis tampak menggantung di langit. InsyaAllah bapakku husnul khotimah dan sudah bahagia di alam sana. 

Justru hal yang masih membuatku menangis adalah saat aku ingat bahwa semasa beliau masih hidup, aku mungkin kurang berbakti pada bapak, aku kurang menunjukkan pada bapak bahwa aku sudah memaafkan dan bisa kembali menyayanginya. Kini aku tidak lagi merasa berdusta ketika aku berkata bahwa aku sangat sayang pada bapakku.

Hikmah yang kudapatkan dari pengalaman batin ini

Kata orang menulis itu adalah terapi jiwa. Makanya kuputuskan untuk menulis kisah ini demi mencurahkan semua rasa yang kupendam selama 13 tahun ini. Supaya aku tidak terus-terusan menangis jika mengingat bapak. Iya benar..bahwa luka itu akan hilang jika kita sudah mendapatkan pelajaran darinya, itu artinya kita sudah merasa benar-benar ikhlas. Bukan sekedar kata ikhlas yang hanya diucapkan dibibir saja.


Pengalaman batin yang kualami ini telah memberiku banyak sekali pelajaran hidup yang berharga, salah satunya adalah keikhlasan dalam menerima takdir Allah. Belajar dari podcast dedy corbuzer dan syekh Ali Jaber yang pernah kutonton di youtube, bahwa sebesar apapun musibah yang kita alami jika kita meyakini bahwa itu adalah takdir Allah serta ikhlas menjalaninya maka akan terasa lebih ringan dan tenang. 

Setiap orang tua pasti pernah melakukan kesalahan pada anaknya, itupun juga ku alami sendiri setelah punya anak. Menjadi orang tua itu bukan hal yang mudah apalagi saat anak masih kecil hingga remaja. Suami istri juga kadang memiliki permasalahan yang seharusnya tak boleh melibatkan anak-anaknya sehingga membuat anaknya merasa bingung. 

Hubungan orang tua dan anak sangat penting dijaga keharmonisannya, itulah yang ingin selalu kulakukan pada anak-anakku. Karena bukan hanya anak saja yang butuh ridho orang tua agar hidupnya bahagia di dunia dan akhirat, namun orang tua saat sudah meninggal juga sangat mengharapkan doa-doa penuh cinta dari anak-anak yang ditinggalkannya. Bukankah sebenarnya kita semua saat ini sedang berjalan menuju ke arah yang sama? yaitu arah jalan menuju pulang...

Selamat jalan bapakku sayang, semoga Allah mengangkat derajatmu dan memuliakanmu di sana :)

Rasulullah SAW dalam sebuah hadis Qudsi: “ Diangkat derajat seseorang yang sudah meninggal, kemudian berkata:“Ya Rabb, apa (penyebab) ini?” kemudian Allah SWT menjawab: “anakmu memohonkan ampun untukmu.”

You May Also Like

0 comments

Terimakasih Teman-Teman Semua Atas Komentarnya :)