Finnaly..It's Happen To Me
by
Arifah Wulansari
- June 25, 2019
Posting kali ini adalah tentang indescribable feeling yang kemarin sempat bikin saya rada nyesek. Perasaan yang sulit untuk dijelaskan. Antara senang campur sedih.
Rabu siang minggu kemarin, saya bersama teman-teman satu tim sedang disibukkan dengan kegiatan lokakarya yang dilakukan secara marathon dari pagi sampai sore. Pagi hari kami mengadakan lokakarya mini bersama muspika dan lintas sektor sekaligus syawalan. Ada sekitar 120 orang yang hadir dalam kegiatan tersebut. Begitu acara selesai sekitar jam 12 siang, langsung dilanjutkan dengan lokakarya mini internal sekaligus syawalan lagi dengan seluruh karyawan puskesmas yang jumlahnya sekitar 50-an orang. Mengingat padatnya acara, makanya kami benar-benar berusaha supaya kegiatan berjalan on time sesuai jadwal dan nggak molor.
Ditengah hari yang sungguh hectic kemarin tiba-tiba saja ada grup whatsapp baru muncul di ponsel saya. Nama grupnya calon mil58 undip. Saya baru saja di add masuk ke dalam grup tersebut dan belum ada percakapan. Tiba-tiba saja saya jadi deg-degan baca tulisan mil undip. Karena setahu saya itu adalah singkatan dari Magister Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro. Saya ingat beberapa bulan lalu saya memang pernah mengikuti seleksi beasiswa untuk mendaftar kuliah Magister.
Tak lama kemudian handphone saya berbunyi. Suara seorang bapak memperkenalkan diri sebagai perwakilan dari MIL Undip. Beliau menyampaikan bahwa saya lolos seleksi beasiswa pusbindiklatren bappenas dan diterima di magister ilmu lingkungan undip. Saya diminta untuk mulai menyiapkan berkas yang dibutuhkan untuk proses registrasi berikutnya.
Jujur siang itu saya agak shock. Tiba-tiba konsentrasi saya ke acara lokakarya langsung buyar. Saya akui di satu sisi saya merasa senang, tapi di sisi lain rasanya jadi agak galau. Dalam hati juga masih bertanya-tanya, Wah..apa benar saya ketrima? Seingat saya pas ujian kemaren saya kebanyakan baca istighfar karena merasa nggak bisa ngerjain soal. Apakah saya diterima karena alasan belas kasihan?
Kemudian saya langsung kasih kabar ke suami yang saat itu juga masih sibuk kerja di kantor. Reaksi suami saya, spontan langsung memberi dukungan ucapan selamat untuk saya meskipun dibelakang ada embel-embelnya kalo suami juga merasa senang sekaligus sedih. Mungkin sama seperti yang saya rasakan saat itu.
Kenapa kami sedih? Karena dengan diterimanya saya di mil undip, itu artinya saya dan suami harus siap untuk menjalani Long Distance Marriage (LDM). Kalau saya kuliah di undip tentunya saya juga harus hijrah ke semarang untuk sementara waktu. Sedangkan suami akan tetap di Jogja karena adanya tanggung jawab pekerjaan yang nggak bisa ditinggalkan begitu saja. Anak-anak juga nggak mungkin pindah sekolah ngikutin saya ke semarang karena mereka sudah sangat nyaman dengan sekolahnya saat ini.
Well, mungkin ada yang tanya. Kalo sudah tau konsekuensinya bakal LDM ngapain juga dulu daftar kuliahnya di Undip? Emangnya di Jogja nggak ada kampus? Hmm..ini ceritanya agak rumit. Sebagai PNS yang dari dulu punya cita-cita pengen cari beasiswa untuk melanjutkan S2 ternyata jalan yang harus saya lalui tidak semudah PNS lainnya. Kalau diibaratkan film kartun, perjalanan saya mencari beasiswa mirip seperti petualangan ninja hatori yang harus mendaki gunung dan lintasi lembah terlebih dahulu.
Kalo flashback ke belakang sebenarnya perjuangan saya untuk mencari beasiswa ini sudah saya mulai sejak tahun 2007 yaitu saat saya baru 1 tahun bekerja sebagai PNS. Waktu itu saya mendaftar beasiswa pusbindiklatren bappenas dengan pilihan program studi ekonomi pembangunan UGM. Tapi karena masa kerja saya baru 1 tahun, saya tidak lolos administrasi. Bappenas memang mensyaratkan masa kerja minimal 2 tahun bekerja sebagai PNS. Saya yang mendaftar dengan modal nekat ternyata langsung terdepak karena tidak memenuhi syarat administrasi.
Tahun 2008 saya menikah. Semangat saya untuk mencari beasiswa masih tinggi. Saat saya sedang hamil 4 bulan, saya nekat daftar beasiswa S2 FETP. Kemudian saya dapat panggilan untuk ikut ujian TPA di UI. Karena saya sedang hamil muda, suami saya sampai rela cuti kerja demi nganterin saya ujian ke jakarta. Meskipun udah berusaha ikut ujian sambil melawan morning sickness alias muntah-muntah dulu sebelum ujian tetap saja hasilnya saya gagal alias nggak lulus ujian TPA.
Kegagalan ini ternyata malah membuat suami saya bersyukur, karena kalo misal ketrima nggak kebayang gimana beratnya saya harus kuliah dalam kondisi hamil. Apalagi jurusan epidemiologi merupakan jurusan yang udah jelas bakalan banyak praktek lapangannya. Takdir Allah memang terbaik, tidak mengabulkan niat saya yang lagi-lagi cuma modal nekat dan tanpa pertimbangan.
Kemudian saya memutuskan untuk stop dulu mikir cita-cita sekolah S2. Saya mau fokus dulu membina rumah tangga, pengen mengurus anak, pengen bikin rumah, pengen beli mobil dan sebagainya. Alhamdulilah Allah beri kemudahan dan kelancaran bagi saya untuk mewujudkannya.
Di tahun 2010, takdir mengantarkan saya untuk menduduki jabatan struktural sebagai kepala sub bagian tata usaha di puskesmas. Pada tahun tersebut saya juga belum punya pikiran untuk melamar beasiswa lagi, karena beban tanggungjawab kerja saya semakin berat. Tiga tahun saya fokus dengan tugas baru saya tanpa memikirkan untuk cari-cari beasiswa lagi. Waktu itu saya juga masih fokus ke usaha mewujudkan impian untuk bisa punya rumah sendiri. Mimpi ini akhirnya terealisasi di tahun 2013.
Selanjutnya di tahun 2014 saya dimutasi ke puskesmas lain masih dengan jabatan yang sama. Setelah 4 tahun menjalani tugas sebagai kasubbag tata usaha saya mulai merasa jenuh. Kemudian terpikir lagi untuk coba mendaftar beasiswa pusbindiklatren bappenas. Saya kembali melamar jurusan yang sama yaitu magister ekonomi pembangunan UGM. Kali ini saya lolos seleksi administrasi dan berkesempatan ikut ujian TPA. Tapi saya gagal memenuhi skor minimal yang ditetapkan bappenas yaitu minimal skor TPA 525. Seingat saya waktu itu skor saya hanya mencapai 514.
Kegagalan tersebut saya terima sebagai takdir Tuhan. Saya yakin Tuhan punya rencana lain untuk saya. Dan benar saja tak lama setelah itu saya dimutasi lagi ke puskesmas yang lebih dekat dengan rumah saya. Dan di tahun 2015 saya hamil anak kedua. Lagi-lagi saya bersyukur karena nggak jadi sekolah S2. Nggak kebayang kalau saya ketrima sekolah S2 dan harus menjalaninya sambil mengandung anak kedua. Bagi saya itu berat dan saya nggak sanggup.
Di tahun 2015 ini ternyata Allah malah memberikan saya kesempatan untuk mengikuti diklat jabatan fungsional penyuluh kesehatan masyarakat ahli. Aneh juga ya, sudah menduduki jabatan struktural tapi kok malah ikut diklat jabfung. Enggak juga sih, karena sebenarnya saya memang pernah mengajukan permohonan supaya diberi kesempatan ikut diklat jabfung promkes ahli karena saya memang bercita-cita untuk melepaskan jabatan struktural saya dan beralih ke jabatan fungsional. Alasannya tak lain dan tak bukan adalah karena saya lelah jadi kasubag tata usaha.
Setelah selesai mengikuti diklat jabfung ternyata jalan saya untuk alih jabatan belum diridhoi Allah. Usai melahirkan anak kedua di tahun 2016, saya coba ngobrol dengan atasan saya tentang rencana alih jabatan tersebut. Tapi atasan saya kurang setuju. Beliau masih menghendaki saya untuk tetap jadi kasubag tata usaha. Apalagi tahun 2017 puskesmas kami akan di akreditasi.
Tahun 2017 saya mulai melupakan cita-cita saya untuk mencari beasiswa S2. Selain fokus untuk persiapan akreditasi, saya juga mendapat tugas baru untuk menjadi anggota tim pendamping akreditasi puskesmas di Kabupaten Bantul. Kesibukan pendampingan akreditasi ini telah membuat saya tak punya waktu untuk memikirkan cari beasiwa lagi.
Puncaknya di tahun 2018 saya malah dapat panggilan untuk ikut diklatpim IV yang justru semakin memantapkan posisi saya sebagai pejabat struktural eselon IV. Kondisi ini bikin saya makin dilema karena secara moral saya jadi merasa makin pekewuh kalau mau mengundurkan diri dari jabatan struktural. Padahal cita-cita untuk beralih ke jabatan fungsional itu masih ada.
Usai mengikuti diklatpim IV sebenarnya saya sudah mulai pasrah untuk menerima takdir saya. Ya sudahlah kalau saya memang harus menjalani karir di jabatan struktural maka akan saya terima dengan lebih bersyukur, ikhlas dan lapang dada. Pada posisi ini sebenarnya saya sudah merasa cukup nyaman. Tempat kerja saya dekat dengan rumah, tunjangan kinerja dan jabatan saya cukup besar, lingkungan kerja nyaman, tim kerja saya adalah orang-orang yang menyenangkan. Jadi saya mau cari apa lagi?
Tapi entah kenapa di tahun 2019 niat untuk mendaftar beasiswa itu muncul lagi secara tidak sengaja setelah sekian lama terkubur. Semua gara-gara saya nggak sengaja baca pengumuman pembukaan seleksi beasiswa bappenas gelombang 2 yang dishare oleh seorang teman melalui grup whatsapp yang saya ikuti. Tadinya saya nggak minat daftar, namun saat saya membaca syarat batasan usia mendaftar beasiswa yang berubah jadi maksimal 37 tahun saya jadi merasa terprovokasi...(padahal seingat saya dulu batas maksimalnya 40 tahun).
Tiba-tiba jadi sadar kalau umur saya tahun ini ternyata sudah 36 tahun. Padahal saya kira umur saya masih 26 tahun. Lalu saya mulai menghitung kesempatan yang tersisa untuk apply beasiswa. Kalo nggak daftar tahun ini berarti taun depan. Tapi kalo tahun depan daftarnya kok kayak agak berat menjalani ya misal ketrima. Soalnya tahun 2021 suami insyaAllah mau berangkat haji mendampingi ibu mertua. Kalau nggak ada suami maka otomatis saya harus single fighter ngurusin duo krucil yang lagi aktif-aktifnya bertumbuh dan berkembang...ahh.. Ku tak sanggup membayangkan gimana repotnya hidup saya kalo masih harus ditambah beban kuliah S2.
So, kesempatan saya untuk mendaftar beasiswa bappenas hanya tinggal tahun 2019 ini saja. Pilihan saya cuma ada 2 yaitu coba mendaftar lagi tahun ini atau tidak ada kesempatan terbuka lagi untuk saya.
Then....what next? Lanjut baca di : Finnaly..It's Happen To Me Part. 2