Belantara Ilmu Itu adalah Pengalaman Hidup
Hidup tidak pernah benar-benar mengajarkan apa pun lewat buku semata. Ia mengajarkannya lewat kejadian. Kadang lembut, sering kali keras, dan hampir selalu datang tanpa aba-aba. Jika ilmu adalah hutan belantara, maka pengalaman hidup adalah jalan setapaknya: berliku, penuh duri, membuat lelah, namun justru di sanalah kita belajar bertahan.
Aku pernah berada di fase hidup yang terasa seperti berjalan tanpa peta. Luka datang silih berganti, seolah belum sempat satu sembuh, luka lain sudah lebih dulu mengetuk. Ada masa ketika air mata menjadi teman paling setia yang jatuh diam-diam di sudut malam, mengiringi pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawaban: “Mengapa harus aku?”
Tantangan hidup tidak selalu datang dalam bentuk yang dramatis. Kadang ia hadir sebagai kegagalan kecil yang berulang, penolakan yang tak terdengar suaranya, atau kelelahan batin yang tidak terlihat oleh siapa pun. Hambatan demi hambatan terasa berat bukan karena besarnya, tetapi karena datang saat tenaga hampir habis. Aku pernah ingin menyerah, bukan karena tidak mampu, melainkan karena terlalu lelah dengan situasi yang terasa begitu pelik.
Namun, hidup punya caranya sendiri untuk mendewasakan. Dia tidak bertanya apakah kita siap. Dia hanya terus berjalan. Dan tanpa disadari, aku pun ikut berjalan bersamanya.
Dari pribadi yang dulunya cengeng dan mudah menangis, aku perlahan belajar berdiri. Dari seseorang yang takut salah, aku belajar berani mengambil keputusan. Dari jiwa yang bergantung pada pengakuan manusia, aku belajar merdeka. Bukan berarti aku tidak pernah takut lagi, tetapi kini aku tidak membiarkan rasa takut mengendalikan arah hidupku.
Pengalaman hidup mengajarkanku bahwa tangguh bukan berarti tidak pernah jatuh, melainkan berani bangkit tanpa kehilangan nilai. Bahwa berani bukan tentang melawan dunia, tetapi jujur pada diri sendiri. Bahwa mandiri bukan berarti tidak membutuhkan siapa pun, melainkan tidak menggantungkan hidup pada validasi manusia.
Aku belajar untuk berhenti hidup demi penilaian orang lain. Sebab penilaian manusia selalu berubah. Hari ini memuji, esok mencela. Jika hidup disandarkan pada itu, maka kita akan terus goyah. Maka aku memilih berjalan sesuai nilai dan integritas yang kuyakini, meski jalannya sunyi dan tidak selalu dipahami.
Pada akhirnya, aku menyadari satu hal yang paling menenangkan: tidak semua beban harus aku pikul sendiri. Ada saatnya berhenti mengandalkan logika dan kekuatan diri, lalu menyerahkan sisanya kepada Allah SWT. Menggantungkan harapan hanya kepada-Nya bukan tanda kelemahan, justru itulah bentuk keyakinan tertinggi. Bahwa apa pun yang terjadi, aku selalu berada dalam penjagaan-Nya.
Belantara ilmu bernama kehidupan ini memang melelahkan. Tapi justru di sanalah aku belajar menjadi manusia seutuhnya. Luka-luka itu tidak hilang, namun ia menjelma menjadi hikmah. Air mata tidak sia-sia, ia menjadi saksi bahwa aku pernah berjuang. Dan setiap langkah yang tertatih telah membawaku ke versi diri yang lebih berani, lebih utuh, dan lebih damai.
Karena pada akhirnya, pengalaman hiduplah guru terbaik. Yang tidak hanya mengajarkan bagaimana bertahan, tetapi juga bagaimana bertumbuh dengan iman.
*) Sebuah refleksi menjelang akhir tahun sebagai pengingat bahwa tahun ini tidak mudah untuk kujalani, tapi ternyata aku bisa


0 comments
Terimakasih Teman-Teman Semua Atas Komentarnya :)