TB : Penyakit yang Memiskinkan sekaligus Mematikan
by
Arifah Wulansari
- June 14, 2014
Setiap orang pasti pernah merasakan sakit batuk atau flu,
termasuk saya yang saat ini sedang kena penyakit batuk flu yang cukup berat.
Gimana rasanya? Sungguh sangat tidak nyaman, aktivitas jadi terganggu dan orang-orang
di sekeliling saya baik itu teman atau keluarga juga jadi “agak”
menghindar karena tidak mau ketularan.
Kata dokter yang memeriksa saya, flu
ini bisa sembuh sendiri tergantung pada daya tahan tubuh. Sehingga saya diberi
multivitamin untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan obat analgesik untuk meringankan gejala
flu. Biaya yang saya keluarkan untuk berobat memang tidak terlalu mahal,
tapi efek ekonomis yang saya terima karena sakit batuk flu
ini jadi cukup besar juga kalau dihitung. Contoh sederhananya adalah sejak saya kena batuk
flu saya jadi tidak bisa masak karena benar-benar tidak enak badan, efeknya selama 3
hari ini suami saya selalu mengajak saya dan anak saya untuk makan di luar dan biaya
“jajan di luar” ini setelah saya hitung besarnya jadi hampir 2 kali
lipat jika dibandingkan dengan memasak sendiri di rumah. Hmm…untungnya sakit batuk flu
ini masa parahnya hanya 3 hari saja,
sesudah itu gejalanya akan semakin berkurang sehingga saya bisa kembali masak di
rumah seperti biasa dan tidak perlu jajan di luar lagi. Bayangkan kalau batuk parahnya sampai sebulan,
aduh bisa kacau anggaran rumah tangga saya nanti.
Itu baru cerita efek ekonomi akibat penyakit batuk flu. Sekarang mari kita bahas efek ekonomi jika seseorang kena penyakit
TB. Penyakit TB ini gejalanya juga ada kesamaannya dengan flu,
yaitu ada batuk-batuknya juga. Namun penyakit TB ini lebih serius karena kalau dibiarkan saja tanpa pengobatan maka penyakit ini bisa menyebabkan kematian.
Pengobatan yang harus dijalani oleh penderita TB juga tidak sesingkat orang yang
terkena flu yaitu memakan waktu minimal 6 bulan masa pengobatan.
Obat TB
memang disediakan secara gratis
oleh pemerintah dan ini cukup meringankan beban penderita TB secara ekonomi.
Tapi masalah ekonomi penderita TB tidak berhenti di situ sajakan?
Mereka juga tetap butuh makan, butuh uang untuk kehidupan sehari-hari,
butuh biaya transport untuk berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan, dan lain sebagainya. Sementara selama menjalani pengobatan TB
ini tentunya penderita TB juga merasakan kondisi tubuh yang sangat tidak nyaman untuk bekerja dan beraktivitas serta disarankan untuk mengurangi aktivitas di luar rumah demi mencegah resiko penularan
TB kepada orang lain.
Saya sendiri merasakan
bahwa sakit batuk tiada henti selama 3 hari saja sudah tersiksa,
apalagi penderita TB yang batuknya itu bisa lebih dari 2 minggu dan pengobatannya bisa memakan waktu sampai 6 bulan bahkan bisa juga lebih dari 6 bulan jika sudah mengalami TB Resisten Obat. Saya baru 3
hari batuk saja rasanya jadi nggak bisa ngapa-ngapain.
Untungnya suami saya masih bisa bekerja dan saya juga PNS yang bisa
mengajukan ijin sakit tanpa harus merasa khawatir dipotong gaji.
Lalu bagaimana dengan penderita TB yang mata pencariannya bertani,
berdagang di
pasar atau mereka yang bekerja di perusahaan swasta yang punya aturan
ketat potong gaji jika tidak masuk kerja?
Tentunya penyakit TB ini akan sangat mempengaruhi kondisi ekonomi
mereka.
Penyakit TB mengakibatkan dampak ekonomi pada penderitanya. Salah satu dampak ialah, 75 persen pasien TB harus mengambil pinjaman atau berhutang untuk biaya pengobatan dan biaya sehari-hari.
Pelayanan Pasien TB di Fasyankes (Sb gmbr : dok,pribadi) |
Obat TB disediakan secara gratis oleh pemerintah,
itu artinya biaya untuk membeli obat TB ini dibayar dengan menggunakan dana APBN
dari Pemerintah. Harapan pemerintah adalah penderita TB ini bisa disembuhkan dan jumlah penderita
TB juga bisa terus diturunkan agar beban APBN juga bisa berkurang.
Namun jika penderita TB ini jumlahnya semakin banyak, ditambah dengan beban TB
resisten obat yang juga semakin besar maka beban APBN untuk membiayai pengobatan TB
ini juga akan semakin berat. Kondisi inilah yang dampaknya nanti bisa memiskin lebih banyak
orang di Indonesia. Jika Dana APBN
lebih banyak digunakan untuk membiayai pengobatan penderita TB (yang
obatnya memang mahal) maka pembiayaan untuk sektor lain juga bisa tersendat.
Mari kita analogikan saja dengan sebuah keluarga yang
punya anggota keluarga sedang sakit dan butuh biaya pengobatan yang mahal.
Tentunya banyak yang harus dikorbankan demi kesembuhan si sakit. Orang yang tadinya
kaya bisa beresiko untuk jadi miskin hanya karena menanggung beban biaya pengobatan anggota keluarga
yang sedang sakit dan orang yang
sudah miskin bisa jadi semakin miskin manakala terbebani dengan biaya pengobatan yang
saat ini memang terasa semakin mahal harganya. Begitu pula sebuah Negara yang
harus menanggung beban untuk bisa menyembuhkan rakyatnya yang menderita TB, jika jumlahnya penderita
TB semakin banyak bisa juga negara akan jatuh jadi negara miskin dan seluruh rakyat juga akan menerima imbasnya.
Di Indonesia, setiap tahun terdapat 67.000 kasus meninggal karena TB atau sekitar 186 orang per hari. TB adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan peringkat 3 dalam daftar 10 penyakit pembunuh tertinggi di Indonesia (SKRT 2004)
Selain bisa memiskinkan, penyakit TB juga bisa sangat mematikan. Penyakit Tb masuk dalam daftar 10 penyakit penyebab kematian dan kecacatan di dunia. Penyakit ini bisa sangat mematikan karena sebagian besar menginfeksi paru dan bisa juga menginfeksi susunan saraf pusat, system limfatik, tulang dan persedian. Itulah sebabnya permasalahan TB ini dideklarasikan oleh WHO sebagai kegawatan Global dan membutuhkan tindakan pencegahan dan penanggulangan yang sifatnya segera dan intensif.
Untuk itu saya sangat setuju jika upaya pemberantasan penyakit TB
ini harus dilakukan oleh semua pihak secara bersama-sama. Masyarakat juga perlu untuk turut berperan aktif dalam rangka menemukan penderita
TB dan mengajaknya untuk berobat di fasilitas kesehatan yang
sudah banyak disediakan oleh pemerintah. Begitu pula
petugas kesehatan juga harus selalu aktif turun ke masyarakat untuk menemukan dan mengobati penderita
TB di wilayah kerjanya masing-masing.
Bukan hanya sekedar menemukan dan mengobati saja namun menjamin kesembuhan penderita TB
dengan cara menerapkan dosis dan prosedur pengobatan yang tepat. Harapannya semoga jumlah penderita
TB di Indonesia bisa terus diturunkan , sehingga tidak ada lagi pihak yang
harus menanggung beban sosial dan ekonomi akibat dari penyakit TB yang
memang bisa sangat memiskinkan dan mematikan bagi semua oran