Selalu Ada Inspirasi Baru Dalam Buku Letters To Aubrey
by
Arifah Wulansari
- October 21, 2014
Judul Buku : Letters To Aubrey
Penulis : Grace Melia
Editor : Triani Retno A
Proof Reader : Herlina P. Dewi
Desain Cover : Teguh Santosa
Layout Isi : Deeje
ISBN : 978-602-7572-27-0
Tanggal Terbit : 16 Mei 2014
Jumlah Halaman : 266
Berat Buku : 250
Dimensi : 13 X 19
Penulis : Grace Melia
Editor : Triani Retno A
Proof Reader : Herlina P. Dewi
Desain Cover : Teguh Santosa
Layout Isi : Deeje
ISBN : 978-602-7572-27-0
Tanggal Terbit : 16 Mei 2014
Jumlah Halaman : 266
Berat Buku : 250
Dimensi : 13 X 19
Minggu ini hidup saya terasa kacau. Deadline pekerjaan kantor yang menumpuk membuat saya merasa sudah sangat lelah sebelum mulai bekerja. Menjelang akhir tahun seperti ini pekerjaan terkait laporan manajemen dan keuangan yang mesti saya kerjakan di kantor memang membuat saya sedikit frustasi. Kebiasaan duduk di depan komputer selama berjam-jam, belakangan ini juga mulai memunculkan penyakit baru bagi saya. Low back pain mulai menyiksa hidup saya dan mengganggu aktivitas kerja sehari-hari. Tapi siapa yang mau perduli. Semua orang hanya bisa menuntut agar pekerjaan bisa selesai tepat waktu.
Saat tiba di rumah, saya merasa tenaga saya sudah hampir habis. Namun sebagai ibu yang memiliki 1 anak balita dan tak punya asisten rumah tangga tentunya sepulang kerja saya tak bisa langsung beristirahat begitu saja. Masih ada tumpukan pekerjaan rumah yang menunggu dan semua itu semakin membuat saya makin kelelahan. Puncaknya adalah malam ini, sedari sore saya sudah uring-uringan sendiri. Punggung yang terasa sakit, pekerjaan kantor yang belum beres, rumah yang berantakan, suami dan anak yang pulang terlalu sore, semua membuat saya merasa ingin meledak saja.
Akhirnya sayapun tak sanggup menahan diri untuk mengeluh pada suami. Saya curhat tentang banyak hal pada suami, mulai dari masalah pekerjaan kantor yang serasa tidak ada habisnya, hingga masalah pembagian tugas-tugas rumah tangga. Saat saya sedang ngobrol serius dengan suami, anak saya Tayo tiba-tiba langsung menyela ikut nimbrung seolah tak mau kalah dengan orangtuanya. Bahkan Tayo sempat berteriak cukup keras, meminta kami untuk berhenti ngobrol dan memfokuskan perhatian kami hanya pada Tayo saja.
Saya yang memang masih dalam kondisi emosi langsung membentaknya dengan keras, "Tayo diam! mama lagi ngobrol sama papa. Bisa diam enggak?!" Bentak saya pada Tayo. Dan Tayo pun langsung diam sambil menatap saya ketakutan. Ada rasa sesal dalam hati kala saya melihat ekspresi Tayo yang tampak sedih karena saya bentak. Tapi ego saya ternyata lebih besar daripada keinginan untuk segera meminta maaf pada Tayo dan memeluknya. Saya tetap mendiamkannya. Pun ketika Tayo merasa lapar dan minta makan, saya memilih untuk tidak memperdulikannya. Saya malah pergi masuk ke dalam kamar dan menutup pintu rapat-rapat. Saya tidak mau diganggu, saya hanya ingin sendiri dan saya mulai menangis. Tuhan..saya lelah, keluh saya. Rasanya saya ingin sekali berhenti bekerja, lebih baik saya berdiam diri di rumah saja tanpa harus terbebani dengan pekerjaan-pekerjaan kantor yang melelahkan seperti sekarang. Tapi saya juga sadar bahwa saat ini saya belum punya pilihan lain selain tetap bekerja. Secara hitungan matematika rasanya tak cukup jika saya hanya menggatungkan diri pada gaji suami saja... ah..Tuhan..saya benar-benar merasa sangat lelah...rasanya ingin meyerah.
Di luar kamar, saya mendengar sayup-sayup suara Tayo dan suami saya sedang sibuk menyiapkan makan di dapur. Suami saya tidak marah dengan sikap saya, justru ia memilih untuk menjaga situasi tetap kondusif dengan cara mengajak Tayo untuk memasak makan malam. Tapi saya masih belum tertarik untuk bergabung dengan mereka. Saya memilih untuk menangis sendiri saja di kamar ini.
Kemudian saya melihat buku itu tergeletak di meja kamar saya. Buku berjudul Letters To Aubrey yang ditulis oleh Grace Melia, seorang ibu dengan anak berkebutuhan khusus yang saya kenal lewat dunia maya dan kini jadi teman baik saya. Dalam keputusasaan saya mencoba mengalihkan kegalauan saya dengan cara membolak balik lembaran buku tersebut. Buku ini saya beli pada bulan Agustus 2014 dan saya telah membaca isinya dari awal sampai akhir. Buku ini merupakan buku yang sangat penuh dengan inspirasi, membaca lembar demi lembar dari buku ini serasa mendapatkan banyak nasehat dari seorang sahabat dekat.
Malam ini saat saya kembali membaca buku Letters to Aubrey, saya kembali menemukan inspirasi baru. Kesedihan dan kelelahan yang saya rasakan saat ini rasanya tak sebanding dengan kesedihan dan kelelahan yang dialami oleh Grace yang tertulis dalam buku itu. Menjalani takdir kehidupan dengan membesarkan anak yang terlahir dengan congenital rubella syndrom tentu bukan hal yang mudah untuk dihadapi. Namun Grace tak pernah patah semangat. Usianya yang jauh lebih muda dari saya menunjukkan sikap yang begitu dewasa dan ikhlas dalam menerima setiap ujian yang Tuhan berikan melalui kehadiran Ubii dalam kehidupannya. Grace tak pernah memandang ujian tersebut sebagai musibah, namun dengan kuat dan tegar Grace melalui hari demi hari bersama Ubii sebagai sebuah berkah yang tak ingin dia gantikan dengan apapun juga. Cinta Grace pada Ubii adalah cinta mati. Apapun kondisi Ubii, bagi Grace sang buah hati tetap jadi kebanggaan nomer satu di dunia ini. How Lucky Ubii..
Perlahan rasa malu mulai menyergap hati saya. Ya..saya malu, ujian yang saya hadapi tak seberat ujian yang diberikan Tuhan pada Grace dan Ubii. Tapi apa yang saya lakukan saat ini? saya terlalu banyak mengeluh, terlalu cepat menyerah dan saya malah membentak buah hati saya sendiri. Bagi Grace, sebuah prestasi dan mimpi besar untuk bisa mendengar Ubii berkata-kata, berteriak-teriak, dan membuat suasana rumah jadi berisik. Tapi bagi saya, justru saya malah membentak Tayo manakala ia melakukan hal yang menurut saya "berisik" padahal itu adalah bagian dari proses tumbuh kembang yang sedang dijalani Tayo saat ini. Seharusnya saya lebih banyak bersyukur karena dikarunia anak yang normal dan pintar seperti Tayo, bukannya malah menjadikannya sebagai lampiasan kelelahan yang saya alami seperti sekarang. Sungguh..saya merasa sangat malu saat menyadarinya.
Grace adalah inspirasi bagi setiap ibu, tak hanya bagi ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus saja. Ibu-ibu yang memiliki anak normal seperti sayapun juga perlu untuk membaca buku Letters To Aubrey ini. Ada banyak pesan moral yang tersirat dalam setiap lembar buku inspiratif ini. Grace tak pernah sedikitpun merasa ingin menyerah dari usahanya dalam memperjuangkan kesembuhan Ubii, bahkan Grace masih punya waktu untuk berbagi dan mengajak masyarakat untuk ikut perduli soal pencegahan infeksi TORCH pada ibu hamil melaui Rumah Ramah Rubella yang didirikannya. Grace ingin mengubah musibah yang dialaminya menjadi berkah bagi orang lain agar jangan sampai terjadi lagi anak-anak yang lahir dengan congenital Rubella Syndrom. Harusnya saya juga tidak boleh menyerah begitu saja, pekerjaan yang saat ini saya anggap melelahkan ini sebenarnya juga merupakan perjuangan. Dengan tetap bekerja saya bisa membantu suami saya, dengan tetap bekerja kami jadi punya lebih banyak uang untuk menyekolahkan Tayo di sekolah yang lebih baik. Dengan tetap bekerja saya juga bisa memberi manfaat bagi orang lain, seperti rekan kerja saya secara langsung, pasien-pasien di tempat saya bekerja dan masyarakat secara umum. Seharusnya kelelahan tidak saya jadikan alasan untuk terus mengeluh dan ingin berhenti kerja. Membaca kisah hidup Grace dalam buku Letters to Aubrey ini jadi menyadarkan saya bahwa saat ini saya mungkin terlalu manja!
Selalu ada inspirasi baru dalam buku Letters To Aubrey. Berulangkali saya membacanya, saya selalu menemukan kesan yang berbeda. Seperti malam ini, kembali membaca buku Letters To Aubrey untuk kesekian kalinya telah membuat saya sadar bahwa saya tidak boleh kalah dengan Grace. Jika Grace saja bisa melalui setiap ujiannya bersama Ubii dengan ikhlas dan pantang menyerah, kenapa saya tidak bisa? Setiap orang punya ujian dalam hidupnya masing-masing dan Tuhan tak pernah memberikan ujian yang berada di luar batas kemampuan hambanya. Saya harus bisa sekuat Grace dan saya tidak boleh memperlakukan anak saya Tayo dengan cara yang buruk seperti yang sudah saya lakukan tadi. Sungguh saya sangat menyesal. Malam ini Tuhan telah menegur saya melalui buku Letters To Aubrey yang ditulis oleh teman saya Grace. Maafkan saya Tuhan, Maafkan aku Suamiku, Maafkan Mama..Tayo...
Sambil menyeka air mata, sayapun segera menutup buku Letters To Aubrey dan meletakkannya kembali ke atas meja. Thanks Grace..bisik saya pada buku tersebut. Bergegas saya keluar dari kamar untuk menghampiri anak dan suami saya yang sedang duduk berdua nonton TV sambil makan malam. Ah..rasanya saya ingin segera minta maaf dan memeluk mereka berdua.