Anak Suka Berlambat-lambat, Gimana ya Solusinya ?
by
Arifah Wulansari
- March 30, 2017
Siapa yang punya anak hobi berlambat-lambat kayak anak saya? Disuruh mandi lamaaaa banget kelarnya. Memang sih anaknya segera masuk ke kamar mandi, tapi nggak langsung mandi. Dia malah bengong dulu sambil mainan air di dalam kamar mandi. Pas waktunya sarapan pagi juga nggak bisa cepet. Ada aja fokusnya pindah ke hal lain. Apalagi pas disuruh pakai sepatu. Aduuuhh..rasanya saya jadi nggak sabar banget nungguin dan akhirnya menyerah untuk mengambil alih kemudian memakaikan sepatunya. Padahal anak saya sudah kelas 1 SD. Cowok pula. Setiap pagi, saat persiapan mau berangkat sekolah saya sih pengennya dia bisa gerak cepat biar nggak terlambat. Tapi anaknya tetep aja hobi slow motion, dan hal ini jadi sering memancing saya untuk ngomel-ngomel tiap pagi.
Ternyata masalah kayak gini, nggak cuma saya aja lho yang ngalamin. Ada banyaaak sekali ibu-ibu di muka bumi ini yang punya masalah yang sama. Salah satunya adalah mak noni rosliyani, seorang blogger yang hobi juga nulis tentang tema parenting di blognya www.nonirosliyani.com.
Selain blogger dia juga bekerja sebagai editor di sebuah kantor penerbit sehingga setiap pagi mak noni juga dituntut untuk tiba di kantor tepat waktu. Menurut pendapat mak noni, lelet itu sepertinya sudah jadi kebiasaan setiap anak. Karena anaknya mak noni yang masih usia TK juga suka seperti itu. Tentang bagaimana solusinya, mak noni sendiri masih bingung. Namun dia memilih untuk lebih mengantisipasi kepada diri sendiri supaya tidak gampang emosi dengan cara bangun lebih pagi dan menyiapkan segalanya lebih awal. Sehingga saat anaknya lelet, si ibu tidak gampang emosi dan marah-marah ke anak. Dari sisi anaknya juga tetap harus diajarkan soal disiplin waktu, misal jam sekian harus bangun, kalau mulai lelet diingatkan lagi dan lain sebagainya.
Selain blogger dia juga bekerja sebagai editor di sebuah kantor penerbit sehingga setiap pagi mak noni juga dituntut untuk tiba di kantor tepat waktu. Menurut pendapat mak noni, lelet itu sepertinya sudah jadi kebiasaan setiap anak. Karena anaknya mak noni yang masih usia TK juga suka seperti itu. Tentang bagaimana solusinya, mak noni sendiri masih bingung. Namun dia memilih untuk lebih mengantisipasi kepada diri sendiri supaya tidak gampang emosi dengan cara bangun lebih pagi dan menyiapkan segalanya lebih awal. Sehingga saat anaknya lelet, si ibu tidak gampang emosi dan marah-marah ke anak. Dari sisi anaknya juga tetap harus diajarkan soal disiplin waktu, misal jam sekian harus bangun, kalau mulai lelet diingatkan lagi dan lain sebagainya.
Sayapun juga sepakat dengan mak Noni. Menurut saya, anak yang hobi slow motion kayak gini tuh nggak bisa dibiarin. Harus dilatih untuk bisa belajar bersegera. Meskipun kata eyangnya anak saya, wajar saja kalau anak cowok suka lelet. Jangan suka diomelin terus. Kasihan. Kata eyangnya, nanti kalo udah lebih gede juga bisa kok belajar nggak lelet lagi.
Wajar? Boleh dibiarin? Trus kalo udah gede bisa berubah sendiri? hmm..saya kurang setuju sih sama pendapat eyangnya Tayo. Justru kalau kebiasaan leletnya itu dibiarin aja, maka sampai gede dia juga bakal tetep lama kalo ngapa-ngapain. Itu bakal jadi kebiasaan yang menghambat kemajuannya. Jadi saya nggak setuju dengan pembelaan eyangnya anak saya. Soalnya saya udah lihat beberapa contoh kebiasaan suka lelet yang selalu dimaklumi sama orang tuanya ternyata pas udah gede tetep aja si anak nggak berubah. Contoh gampangnya adalah anak yang dari kecil dibiarin aja bangun siang, sampai dia gede juga bakal kebiasaan bangun siang terus.
Karena saya nggak ingin anak saya jadi generasi slow motion maka solusi untuk mengubah kebiasaan suka berlambat-lambat ini harus segera ditemukan. Bersyukur ketika kemudian Allah memberi jawaban kepada saya melalui sebuah forum pertemuan orang tua yang diadakan oleh sekolahnya anak saya. Di forum ini kami para orang tua saling diskusi dengan para ustadzah. Saat pulang saya diberi setumpuk materi untuk dibaca-baca di rumah.
Meskipun saya lagi super sibuk, tapi demi anak ya mau nggak mau saya sempatin dong untuk baca materi setebal 41 halaman yang dikasih sama ustadzah wening. Materinya berisi tentang ringkasan buku Home Education Volume 1 karya Charlotte Mason yang diterjemahkan oleh Ellen Kristi. Ternyata asyik juga baca materi ini. Rasanya saya seperti diingatkan kembali tentang betapa tugas membesarkan seorang anak itu benar-benar butuh untuk terus belajar...belajar..dan belajar.
Kemudian saya sampai pada satu halaman yang menceritakan tentang bagaimana membentuk kebiasaan anak. Charlotte mencontohkan tentang upaya seorang ibu dalam menyembuhkan anaknya dari kebiasaan berlambat-lambat (dawdling). Istilahnya memang menyembuhkan. Kebiasaan berlambat-lambat memang kayak dianggap sebagai "penyakit" yang harus disembuhkan sejak usia dini, jangan tunggu sampai besar karena akan lebih sulit lagi mengobatinya. Eniwei, khusus materi halaman yang ini tuh sampai saya baca berkali-kali lalu saya bikin poin-poin ringkas versi saya.
Jadi untuk bisa menyembuhkan anak dari kebiasaan berlambat-lambat maka yang harus dilakukan ibu adalah :
1. Menjelaskan secara bersahabat (tanpa ngomel dan tanpa emosional) kepada anak tentang kesusahan yang pasti timbul dari kebiasaan suka berlambat-lambat sehingga anak paham dan mau berubah. Misalnya : Untuk kasus anak saya, dia saya beri penjelasan bahwa kalau terlalu lama bersiap berangkat sekolah nanti bisa terlambat sampai di sekolah. Konsekuensi terlambat sesuai aturan yang berlaku di sekolah adalah harus menunggu di luar gerbang sekolah sampai jam 8. Itupun saat diperbolehkan masuk ke dalam kelas, harus minta maaf dulu kepada ustadzah serta teman sekelas karena jadi mengganggu. Saya ajak anak saya berdiskusi bagaimana kalau saat tiba di sekolah ternyata gerbang sudah ditutup?Apa Tayo mau menunggu sendiri di luar gerbang bersama pak satpam? Jika harus mama atau papa yang menemani tentu mama dan papa juga akan jadi terlambat tiba di kantor. Semua akan jadi repot hanya karena masalah kebiasaan berlambat-lambat. Setelah saya jelaskan seperti ini ternyata anak saya bisa paham dan setuju untuk mencoba belajar bergerak lebih cepat.
2. Membuat kesepakatan dengan anak untuk bekerjasama. Misalnya untuk kasus anak saya kami membuat kesepakatan waktu. Kira-kira anak saya butuh waktu berapa menit untuk mandi. Dia bilang, aku bisa 5 menit. Oke, karena anak saya masih kelas 1 SD dan belum terlalu paham soal waktu 5 menit maka saya tunjukkan tandanya dengan patokan jarum jam. Jika masuk kamar mandi pada saat jarum jam panjang menunjuk angka 6, maka saat jarum jam panjang menunjuk angka 7 dia sudah harus selesai mandi. Ternyata anak saya malah jadi semangat dan menganggap hal ini seperti main game mode time trial. Hasilnya dia bisa mandi lebih cepat dari sebelumnya. Eh...malahan dia usul minta dibeliin jam pasir supaya gamenya lebih seru. Katanya dia mau balapan cepet-cepetan sama jam pasir..hahaha..seru juga sih kayaknya. Tapi dimana ya bisa beli jam pasir?
3. Orangtua konsisten untuk selalu mengingatkan anak dengan tanpa mengomel. Contohnya pernah suatu pagi anak saya kembali berlama-lama saat menghabiskan sarapannya. Lalu saya duduk di dekatnya dan menahan diri untuk tidak mengomel. Melihat saya duduk di dekatnya, anak saya sudah sadar diri. Kemudan dia berkata, Iya ma..5 menit lagi. Sambil nyengir. Mungkin lama-lama bagi anak saya, wajah ibunya ini sudah identik dengan jarum jam.
4. Saat anak sudah mulai terbiasa dengan kebiasaan barunya maka orangtua harus menjaga jangan sampai kebiasaan lamanya kambuh lagi. Karena kebiasaan baik yang baru tertanam sifatnya masih rapuh. Jujur upaya saya belum sampai pada tahap ini. Tapi dari materi yang saya baca, akan ada kemungkinan muncul rasa iba seorang ibu kepada anaknya kemudian ia memberi anaknya sedikit istirahat dari habit trainingnya. Namun ini sangat fatal akibatnya. Dikatakan bahwa kebiasaan berlambat-lambat yang sudah terukir lama dalam otak anak, pelan-pelan sudah mulai terbentuk jalur baru untuk menggantikan jalur lama tersebut. Namun ketika ibu mengijinkan anaknya satu atau dua kali mengulangi kebiasaan lamanya maka kebiasaan baru akan gagal terbentuk dan ibu harus mulai proses dari awal lagi.
Jadi poin terpentingnya terletak pada membentuk kebiasaan baru mungkin bisa dilakukan selama beberapa minggu atau bulan. Tapi memeliharanya merupakan pekerjaan yang harus dilakukan secara teliti dan terus-menerus. Seorang ibu yang baik memang harus mau mencurahkan banyak waktu untuk menyembuhkan anak dari suatu kebiasaan buruk, sama seriusnya seperti ia merawat sang anak supaya sembuh dari campak. Karena kebiasaan buruk itu tidak bisa disembuhkan dengan hukuman atau hadiah dan juga tidak akan hilang sekalipun anak bertambah umur.
Well..itulah 4 hal yang mungkin bisa dicoba oleh ibu untuk menyembuhkan anak dari kebiasaan berlambat-lambat. Semoga bermanfaat ya :)